Lihatlah seniman itu. Dia muncul dari gudang yang luasnya tidak lebih besar daripada sel penjara. Seniman itu tinggal dan bekerja di gudang ini. Usianya 32 tahun, dengan gaya rambut Mohawk, anting-anting emas, sepatu bot koboi, sabuk Dolce & Gabbana, dan kemeja sutra warna tembaga.
Namanya Dario, dan dia ingin menunjukkan kepada kami, “Sayalah raja di kawasan ini.”
Kawasan yang dimaksudkan adalah Matete: sempit, miskin, dan berbahaya. Daerah ini dikenal karena banyak atlet dan pencurinya. Di samping gudang Dario, seorang wanita tua duduk di atas tanah dan menjual tumpukan arang.
Di ujung jalan yang satu, terhampar pasar acak-acakan tempat para pedagang menjajakan palu, pisang, dan rokok. Di ujung jalan yang lain, polisi berusaha menahan seorang wanita uring-uringan yang menarik-narik bajunya.
Kami berada di jantung Kinshasa yang berdegup kencang, ibu kota Republik Demokratik Kongo—dan di sini indeks kualitas hidup seperti tingkat gizi per kapita dan kualitas air menunjukkan bahwa lingkungan ini tidak mampu menopang kehidupan warganya. Namun, sesungguhnya, Kinshasa adalah kota yang sangat hidup.
“Silakan masuk,” ujar Dario menawarkan. Tidak ada tempat tidur di dalam gudang. Dinding bangunan ini dipenuhi dengan lukisannya, sesuatu yang tidak kita harapkan dari lelaki yang pertama kali saya temui di sebuah kontes sape. Sape adalah sebuah acara kumpul-kumpul, tempat kaum lelaki Kinois—sebutan untuk warga Kinshasa—memamerkan pakaian mahal yang mereka peroleh dengan cara masing-masing.
Dari gerombolan orang miskin yang aneh ini, dia melompat menghampiri saya, menunjuk dadanya dan berseru, “Celana Yohji Yamamoto! Sepatu El Paso! Topi Kassamoto-ku harganya 455 euro!” Dan seterusnya hingga akhirnya saya mengetahui bahwa selain seorang sapeur atau penggemar berat mode, Dario pernah belajar di Akademi Seni Rupa di Kinshasa. “Saya sudah melukis sejak berusia sepuluh tahun,” katanya.
Lukisan Dario tampak menawan, penuh mimpi tetapi sekaligus sendu. Lukisannya menghadirkan pemandangan jalan yang berantakan dan kerasnya kehidupan sehari-hari—pemandangan kota yang sibuk namun ceria, kota yang melahirkan beberapa seniman terbesar Afrika.
Banyak di antara mereka—seperti pelukis Pierre Bodo dan Chéri Samba, musisi Papa Wemba dan Koffi Olomide, pematung Bodys Isek Kingelez dan Freddy Tsimba—terkenal di seluruh dunia. Dario sendiri mungkin tidak akan pernah setara dengan nama-nama itu.
Namun, inilah komitmen hidupnya, menemukan keindahan dalam perjuangan hidup. Saya memintanya untuk melukis sesuatu untuk saya dan menjelaskan apa yang saya bayangkan. Kami menyepakati harganya, termasuk uang muka senilai Rp1 juta untuk peralatan melukis. Saya menyerahkan uang tunai, yang diam-diam diselipkannya ke dalam kitab Injil di atas rak.
“Saya tidak punya uang,” katanya. “Tetapi, orang seperti saya tidak pernah putus asa. Kami adalah pejuang. Kami mati dengan terhormat.”
!break!
Lihatlah kota seni ini. Kinshasa bergejolak bagaikan lautan primordial di atas hamparan daerah tropis seluas 650 kilometer persegi di tepi selatan Sungai Kongo. Sekitar sepuluh juta orang tinggal di sini. Dan, setiap tahun, setengah juta orang menambah populasi Kinshasa. Kita tidak tahu bagaimana mereka dapat bertahan. Bahkan, gandum untuk roti pun diimpor dari luar negeri.
Akibatnya, menurut salah seorang veteran penasihat bantuan kemanusiaan yang berbasis di Kinshasa, “Kita dapat membeli makanan dengan harga lebih murah di Amerika daripada di sini. Ini adalah salah satu populasi yang paling kekurangan gizi di Afrika, bahkan mungkin di seluruh dunia.”
Seluruh air di kota ini berasal dari Sungai Kongo dan anak sungainya, yang juga menjadi muara semua limbah kota ini. Hanya beberapa jalan yang diaspal. Sekolah tidak terjangkau bagi sebagian besar Kinois.
Meskipun berstatus sebagai ibu kota negara terbesar kedua di seluruh Afrika, Kinshasa adalah contoh kota yang sangat tidak teratur. Seperti yang diungkapkan seorang pejabat AS dengan hati-hati, setiap kementerian pemerintahan “pada dasarnya cukup mandiri”—dengan kata lain, sebagian besar dana yang dimilikinya diperoleh dari penyuapan dan pemerasan. Hal ini terutama berlaku di kepolisian, yang, menurut penasihat bantuan kemanusiaan itu, “seratus persen dapat disogok. Setiap orang berdalih dengan alasan yang sama: untuk membiayai kehidupannya.”
Kita pasti menduga bahwa lambat laun akan terjadi anarki akibat benturan kemiskinan yang terus meluas dan kegagalan pemerintah untuk mengatur negara. Namun, keyakinan dunia Barat pada lembaga pemerintah, hukum, dan infrastruktur tidak dapat diterapkan di gabungan kota metropolitan dan desa ini, yang terbentuk tanpa rencana yang jelas. Begitu pula cerita tentang Kinshasa, kisah duka, penindasan, dan tanpa harapan, kisah yang kerap ditemui di benua Afrika.
Setelah memperoleh kemerdekaannya pada 1960 dari penjajah Belgia, dan setelah ditipu dan dirampok oleh diktator Mobutu Sese Seko, masyarakat Kongo sudah lama membuang harapan bahwa lembaga sipil dan pemimpin terpilih akan mewujudkan janjinya. Ajaibnya, di Kinshasa, mereka belum membuang harapan. Sebaliknya: Kinshasa adalah kota wirausaha yang hiruk pikuk, tempat semua orang memperdagangkan barang apa pun yang tersedia, pakar tanpa sertifikat, pencipta di tengah kekacauan, seorang seniman di gudang.
Saya mencari seorang penulis setempat yang pernah menulis artikel tentang kotanya, “Kinshasa adalah sebuah kota yang murid sekolahnya tidak belajar, pekerjanya tidak bekerja, menterinya tidak mengatur.” Nama penulis itu Lye M. Yoka. Dia direktur umum Institut Nasional Seni dan menyeringai ketika saya membacakan kutipan ini kepadanya.
“Kekuatan Kinshasa dapat ditemukan di dua tempat,” katanya. “Pertama, dalam belanga kebinekaannya: terdapat sekian banyak suku di kota, tetapi tidak ada pertikaian antara suku-suku lokal di ibu kota.” Memang terjadi perang antara pemimpin militer, katanya, tapi “masyarakat adat tidak pernah terlibat dalam perang saudara.”
Sumber kedua kekuatan kota ini, ujarnya melanjutkan, adalah “daya cipta dan improvisasi yang begitu luar biasa. Bagi orang luar, kota ini terlihat kacau-balau. Bagi saya, tidak. Kami telah mengembangkan sebuah sistem informal. Dan, dalam sistem informal ini, terdapat keteraturan. Kami menggunakan apa yang kami miliki dan menegosiasikan segalanya.”
Yoka, tentu saja, sedang menggambarkan hakikat kepekaan artistik. “Seniman sudah dikenal tidak pernah bergantung pada pemerintah,” katanya. “Kegiatan seninya menjadi cara menghadapi permasalahan kesehariannya, dan sarananya untuk bermimpi. Inilah Kinshasa, kota seni, tempat yang membuat penderitaan berubah menjadi inspirasi.
!break!
Saya dapati Freddy Tsimba sedang berdiri sekitar satu meter di belakang pintu besi bergelombang. Ia menggunakan obor asetilen untuk mengelas sebuah golok pada patung wanita hamil yang seluruhnya terbuat dari sendok. Tsimba membayar anak-anak jalanan Kinshasa, shege, untuk mencari sendok bekas di jalanan untuknya. “Mereka tidak tahu apa yang saya lakukan di sini—mereka hanya mengira bahwa saya orang gila pengoleksi sendok,” katanya.
“Terdapat banyak sekali sendok [di Kinshasa], tapi sayangnya, tidak ada yang bisa dimakan [dengan sendok itu].” Tsimba menjelaskan bahwa patung ini melambangkan wabah pemerkosaan di Kongo timur. “Lihatlah, wanita ini merentangkan tangannya,” katanya. “Dia melindungi anak-anak di dalamnya. Dia melawan tentara. Dia berusaha sebaik mungkin. Golok, tentu saja, mengekspresikan kekuasaan dan kekerasan.”
“Apakah ada yang pernah bertanya mengapa Anda tidak fokus pada citra yang lebih positif?”
Sambil tertawa, Tsimba menjawab, “Para seniman senior—yang suka melukis wanita berpantat besar sedang menari dan orang sedang minum-minum—tidak menyetujuinya. Namun, sebagian besar warga Kongo memang menderita, dan itulah yang saya wakili. Saya tidak ingin menyanjung para penguasa. Saya lebih memilih untuk fokus pada apa yang sesungguhnya terjadi.”
Lelaki luwes dan menawan dengan rambut ala Rastafarian ini mengantar saya menyusuri jalanan berdebu di Matonge, lingkungan yang telah dihuninya seumur hidup selama 45 tahun. Kami melewati dasar sungai yang lebar penuh sampah. Tsimba mengajak saya masuk ke dalam gudangnya. Di dalamnya terdapat 50-an patung: beberapa patung wanita hamil, banyak di antaranya dengan kaki direntangkan dan tangan ditempelkan ke dinding.
Dunia bawah tanah yang dipenuhi korban tampak mengilap, terbuat dari sendok, golok, dan peluru. “Saya bertemu dengan seorang wanita Kongo timur di sini pada 1998, korban perkosaan yang sedang hamil,” ujar Tsimba. “Saya bertanya apakah dia akan mempertahankan kehamilannya. Dia menjawab, ‘Ya, anak ini tidak bersalah.’ Hal itu menjadi inspirasi saya.
Saya tunjukkan patung itu kepadanya ketika sudah selesai. Wanita itu sungguh bersemangat, bahkan senang sekali, karena ada orang yang menyampaikan cobaan hidup yang dihadapinya kepada dunia. Dia berkata, ‘Ya, beginilah penderitaan saya.’ Saya menjual patung itu dan menggunakan uangnya untuk membayar biaya rumah sakit dan pakaian untuknya, sehingga dia dan bayinya dapat pulang ke Goma.”
Sejak saat itu, patung karya Freddy Tsimba telah dipamerkan di Afrika dan Eropa, di Cina, dan Washington, D.C. Belum lama ini, dia mendapatkan izin tinggal bagi seniman dari pihak berwenang di Strasbourg. Di sana, dia mendirikan sebuah patung setinggi enam meter untuk mengenang sekian banyak pengungsi Eropa Timur baru-baru ini. Hasil penjualannya menutup biaya bahan bakar obor las, gudang, sendok, dan persenjataan bekasnya.
Di negara lain, seniman yang memiliki sifat kemanusiaan seperti Tsimba yang gigih pasti mengundang perhatian, ketenaran, dan penghargaan profesional. Mobutu, dengan kekuasan diktatornya yang habis-habisan menjarah harta negaranya, sangat mendukung para seniman Kinshasa, terutama yang mempropagandakan namanya.
Namun, penerus sang diktator, Laurent Kabila (yang menggulingkan Mobutu pada 1997) dan Joseph Kabila (yang menggantikan ayahnya setelah terbunuh pada 2001), tidak memedulikan para seniman ini. Tujuan pendirian kementerian seni masih tidak jelas hingga sekarang.
Dana dua sekolah seni Kinshasa sebagian besar diperoleh dari iuran orang tua murid. “Pemerintah tidak memiliki visi,” kata Joseph Ibongo Gilungula, direktur Museum Nasional Kongo di Kinshasa. Dengan tertawa getir, dia membicarakan museum yang dipimpinnya: “Alasan apa yang bisa kita kemukakan? Faktanya, 40.000 karya seni dibiarkan telantar di dalam gudang.”
!break!
Dan, untuk menjadi seniman seperti Tsimba, Anda melakukan apa yang dilakukan Kinois. Anda menerima kenyataan bahwa pemerintah hadir hanya untuk mengambil, bukan memberi. Anda berimprovisasi. Anda mewujudkan seni dengan keyakinan tinggi sehingga orang tua Anda dapat dibujuk untuk mengirimkan Anda ke Akademi Seni Rupa.
Anda mempelajari keahlian mengelas dengan berkumpul bersama pengrajin logam yang diam-diam tinggal di bekas pabrik onderdil mobil yang sudah bangkrut. Anda menemukan bahan yang diperlukan dan inspirasi Anda dari jalanan.
Imbalan berupa uang yang Anda dapatkan, diperoleh dari klien kaya-raya di luar Kongo. Anda hidup setiap hari dengan menggunakan kecerdikan dan kemandirian. Anda menjalani paduan kehidupan perkotaan ala Darwin dan kedaerahan suku-suku yang bergejolak, dengan risiko berkesenian yang dihadapi Freddy Tsimba, yakni mengundang salah tafsir.
“Ada saja orang yang menghubungkan pekerjaan saya dengan setan,” ujarnya mengakui. “Mereka merasa seni saya mirip dengan karya setan. Kerabat saya sendiri menganggap saya seorang penyihir. Saya tidak lagi makan bersama keluarga, karena takut mereka berusaha meracuni saya.”
Berkomunikasi dengan roh, bagi Kinois, bukan hanya merupakan sumber penyembahan setan, melainkan juga sumber kekuatan. Kinois percaya bahwa roh orang mati dapat mengubah hidup seseorang. Saya merasakannya pertama kali pada suatu malam di lingkungan Matonge, pusat musik Kinshasa.
Di malam hari, jalanan Matonge gegap gempita disemarakkan melodi dari berbagai tempat dan ramainya pengunjung pesta yang bergembira. Saat melewati tempat kecil yang penuh sesak, kita dapat mendengar dentuman drum yang bertalu-talu, lagu yang bergemuruh—dan, tentu saja, sensualitas lesu tarian rumba, yang mengarungi perjalanan cukup jauh dari Kuba ke Kinshasa pada 1930-an dan ‘40-an melalui para pelaut Afrika Barat dan buruh Karibia, serta rekaman yang dijual para pedagang Eropa. Semuanya langsung dipraktikkan oleh Kinois di masa penjajahan sebagai irama ungkapan hati.
Pada suatu malam, saya menemui Tsimba di klub La Porte Rouge di Matonge untuk melihat band klub, Basokin. Klub ini sebenarnya sebuah garasi, diterangi oleh rangkaian empat bohlam yang menggantung di langit-langit, dengan mobil diparkir di dalam, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang yang cukup untuk panggung darurat dan setengah lusin meja plastik. Pedagang asongan hilir mudik menjual bir Kongo, brochette sapi panggang, dan kacang.
Para anggota band, semuanya lelaki, berbaris di panggung: tiga vokalis, dua pemain gitar listrik, seorang pemain gitar bass, tiga pemain tom-tom, dan penabuh perkusi yang dengan rajin menabuh botol bir kosong dengan tongkatnya selama pertunjukan.
Melalui tata suara yang kotor dan bergema, musik dimulai lambat-lambat dengan hentakan drum lembut dan lantunan gitar yang lesu. Penyanyi utama, seorang lelaki paruh baya berkemeja sutra imitasi, yang menyebut dirinya Mi Amor, melantunkan beberapa suku kata. Kemudian, dua vokalis lain bergabung bersamanya—menyanyikan lagu polifonis dengan suara parau dari kelompok etnis Songye, yang menjadi inspirasi nama band-nya.
Lagu terus berlanjut: para penyanyi mengumandangkan lirik, dentuman drum semakin keras, suara gitar semakin melengking membangun intensitas yang nyaris tak disadari. Hal itu berlangsung selama delapan menit hingga para penari bermunculan dan perlahan-lahan berjalan menuju panggung.
Penari itu berjumlah empat orang, semuanya wanita, masih muda, bertelanjang kaki.
!break!
Malam ini mereka mengenakan rok sederhana dan tanktop; beberapa hari kemudian, mereka mengenakan gaun kesukuan kuning dan merah yang sangat indah. Peran para penyanyi kini menyurut menjadi penyanyi latar yang bergumam dan mengerang, sedangkan para penari berputar-putar dengan kencang menjadi pusaran mengikuti improvisasi petikan gitar yang sangat cepat.
Para wanita muda itu berdiri di hadapan penonton dan mulai menampilkan paduan tarian seks dan proses melahirkan: dari pinggang ke bawah, melakukan gerakan tak terduga, dari leher ke atas, benar-benar tak sadarkan diri. Para penonton terpaku dalam keadaan seperti sedang berhalusinasi.
Kemudian, tiba-tiba saja lampu mati dan raungan gitar membisu.
Generator yang menyediakan listrik untuk La Porte Rouge telah menyedot tetes terakhir bahan bakarnya. Basokin lenyap dalam kegelapan, sementara seseorang langsung meraih wadah plastik dan berlari menyusuri jalan untuk mengambil bahan bakar. Setengah jam kemudian, klub malam terang benderang kembali, band naik ke atas panggung dengan tenang dan spiral suara serta gerakan baru selama 20 menit kembali mengisi garasi dan, saya yakini, kota sekitarnya.
Beberapa hari kemudian, saya menemui penyanyi Mi Amor untuk minum bir di Matonge. Jalanan dibasuh cahaya matahari yang tidak begitu terik. Pemimpin band itu, seperti Freddy Tsimba, tampak ramah dan sangat serius menekuni dunia seninya. Dia menceritakan bahwa Basokin telah tampil selama 30 tahun.
Dua di antara para penari adalah putri para musisi. Sejak 1987, Basokin bermain di La Porte Rouge setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Mi Amor dan salah seorang anggota band adalah pegawai negeri, sementara yang lain, ujarnya menjelaskan, “bekerja di sektor informal,” dengan kata lain, seperti sebagian besar Kinois, mereka bekerja serabutan untuk memperoleh penghasilan, termasuk persenan dari penonton.
“Semua anggota band berasal dari suku yang mewakili budaya Songye, dan yang kami coba lakukan adalah melestarikan tradisi rakyat,” cerita Mi Amor. “Lagu-lagu rakyat itu statis, tidak dinamis. Kami mengganti beberapa kata dan mengganti alat musik tradisional seperti xilofon dengan instrumen modern seperti gitar. Tapi, lagu-lagu kami berbicara tentang kembali ke nilai-nilai tradisional yang mulai hilang.
Musik itu sendiri, ujar sang penyanyi, dimaksudkan untuk membangkitkan hal supranatural—landasan spiritualitas Songye, dipenuhi dengan ilmu sihir dan penghormatan untuk orang mati. “Ketika para penari bergabung dan kami berimprovisasi, itu adalah kombinasi kekuatan,” katanya. “Kami menyapa para pinisepuh Songye yang telah tiada. Seolah-olah kami kembali berada di desa kami, berbicara dengan orang-orang di alam baka, dan mereka mendengarkan.”
Seorang produser dan manajer musik berkebangsaan Belgia, Michel Winter, mengunjungi Kinshasa berkali-kali. Dari tempat terpencil, ia membawa artis berbakat seperti Konono No 1 dan Staf Benda Bilili. Winter menemukan Basokin pada 2002, dan sejak saat itu mereka telah mengadakan tur di seluruh Eropa. “Bagi saya, Basokin sungguh luar biasa, menghipnotis,” kata Winter.
!break!
“Mereka tidak dibayar mahal, padahal sangat berani, bermain tiga kali seminggu. Kinshasa penuh dengan pemimpi gila seperti Basokin dan kelompoknya, yang tak henti-hentinya berlatih setiap hari. Saya rasa tidak ada tempat lain di Bumi yang seperti itu.”
Mungkin kita terlalu membesar-besarkan daya pikat keajaiban kota itu. Kita menyihir Kinshasa, seperti yang dilakukan Yoka, menjadi sesuatu yang “seksi dan tak terduga, seperti seorang wanita.” Atau, memandangnya sebagai lanskap tempat tinggal “para pemecah batu dan seniman melarat, yang menghadapi kemalangan dengan senyuman, menerimanya dengan gayanya sendiri.”
Kita membesar-besarkannya dengan humor dan sindiran. Namun, sang penulis mengakui bahwa “sistem informal” ini sama sekali tidak ideal. “Saya tidak menyesali kota kami,” katanya. “Kami berada di era modern, dan ada sejumlah standar modern yang perlu diadaptasi.”
Karena pameran kewirausahaan kompulsif Kinshasa yang mentah dan kaya dapat memudar dengan cepat. Hal seperti ini pernah saya rasakan dan dengan mudah dapat terjadi pada Anda: Bayangkanlah Anda berada dalam sebuah SUV yang meluncur, dan tiba-tiba seorang pria melompat ke pijakan kaki untuk keluar-masuk mobil.
Dia menggedor jendela. Dia mengatakan bahwa mobil Anda telah menabraknya dan menuntut ganti rugi. Pemandu Anda menyangkalnya dan mempercepat laju kendaraan. Pria itu terus bertahan, sekian kilometer, sampai memberi sinyal bagi Anda untuk menepi. Jika pemandu Anda kebetulan tidak memiliki nomor ponsel kepala polisi, seperti yang kami alami, Anda akan meringkuk beberapa jam di dalam bui sampai akhirnya bersedia mengeluarkan uang yang cukup banyak agar bisa bebas.
Atau: Anda mengemudi pada sore hari menuju lingkungan terpencil Ndjili untuk menonton sebuah band. Kemudian, lalu lintas berhenti. Mobil seseorang berhenti di tengah jalan. Dan sekarang semua kendaraan berbelok ke samping, berusaha mencari jalan keluar, sehingga menutup semua jalan keluar dan ketertiban lalu lintas berubah menjadi neraka lalu lintas yang berdenyut tanpa pengaturan polisi. Penumpang membanjiri jalan.
Para ibu menggendong bayi. Anjing. Tubuh orang dan debu menghalangi cahaya. Klakson bersahut-sahutan. Orang-orang berteriak dan menghantam mobil dengan tinju. Anda tenggelam dalam kerumunan manusia yang terus bertambah banyak, dan tidak ada jalan untuk menyelamatkan diri.
Entah bagaimana Anda berhasil menyelamatkan diri, karena Anda beruntung dan dapat membayar sopir yang terampil.
Anda bukanlah salah satu dari puluhan ribu anak jalanan, banyak yang dibuang oleh orang tua yang menganggap nasib buruknya sebagai Kinois pasti disebabkan oleh kehadiran penyihir dalam keluarga. “Dalam masyarakat tradisional, setiap kali seorang anak kehilangan orang tua, dia secara otomatis dipelihara oleh anggota keluarganya yang lain,” kata Henry Bundjoko Banyata. Dia seorang profesor sejarah seni yang tinggal di Kinshasa.
Saat berusia 12 tahun, di desa tempat kelahirannya, ia diminta untuk mempraktikkan pengobatan tradisional, menjadi dukun. “Tetapi, sejak krisis ekonomi yang melanda Kinshasa di bawah pimpinan Mobutu, beberapa keluarga, karena kurangnya sarana, membuang anak-anaknya. Atau keluarga itu bergabung dengan gereja untuk meminta perlindungan terhadap roh jahat, dan pendeta di gereja menegaskan bahwa anak-anak ini adalah penyihir.
Di desa, kita tidak menemukan praktik semacam itu. Seperti hilangnya rasa hormat kepada orang tua dan lingkungan—hal itu pun diabaikan di ibu kota. Di sini, kami telah kehilangan nilai-nilai tersebut.”
!break!
Lihatlah kota imajiner itu. Gerbangnya roda berwarna-warni. Di balik roda itu, jalanan bagaikan pita membentang melintasi Taman Firdaus, dan berakhir di kota metropolis yang menyeruak dari lautan. Gedung pencakar langit tampak cemerlang dan sangat proporsional, persilangan antara Dubai dan Legoland.
Beberapa bangunan menampilkan lambang produk komersial seperti pasta gigi atau bir; lainnya menampilkan tempat: Libia, Amerika Serikat, Himalaya. Kota ini bersih, sangat asli. Juga benar-benar kosong. Pencipta model kota yang terbuat dari kardus-dan-kaca yang indah ini adalah Bodys Isek Kingelez. Dia menjulang tinggi di atas model itu, tampak sangat bangga. Ia seorang Kinois paruh baya yang berpakaian serba merah, dari kacamata hingga sepatu kulitnya.
Ujar sang seniman, “Arsitek dan pembangun di seluruh dunia seharusnya mencoba belajar dari sudut pandang saya, sehingga dapat membantu generasi mendatang.” Saat berdiri di hadapan sang seniman yang mengisolasi diri dan modelnya yang bagaikan karnaval, kita harus maklum bahwa dia tidak benar-benar didorong oleh altruisme.
Sebaliknya, dia mewakili keberanian manusia untuk menyusun ulang dan menciptakan kembali. Menjadi Tuhan, seperti yang dinyatakan Kingelez: “Ketika Tuhan menciptakan dunia, maka Sulaiman-lah yang menciptakan bangunan besar pertama di dunia. Sekarang, saya hanya mengikuti ciptaan Tuhan.
Suatu visi muncul di benaknya, begitu kata seniman itu, pada 1979 saat sedang mengajar ekonomi di Kinshasa. “Saya mendapatkan wahyu—seolah-olah saya jatuh sakit,” kenangnya. “Suara itu berkata, ‘Banyak yang harus kaulakukan. Cari gunting, lem, dan kertas.’ Saya bertanya, ‘Apa yang dapat saya lakukan dengan semua ini?’ Roh itu berkata kepada saya, ‘Mulai saja. Kau akan melihatnya sendiri.’
Saya mengurung diri di rumah tanpa makanan sedikit pun. Model kecil itu selesai dalam dua minggu. Seorang anggota keluarga saya datang berkunjung dan melihatnya. Dia berkata, ‘Kau harus menjualnya!’”
Sejak itu, dia memamerkan dan menjual model karyanya di seluruh Eropa dan AS. Sekarang, Kingelez yang hebat tinggal di sebuah kompleks berdinding tinggi, meskipun dia menyatakan memiliki 30 rumah yang tersebar di seluruh kota. Rumahnya kecil dan salah satu ruangan dikhususkan untuk menyimpan kaca dan perlengkapan seni lain senilai Rp300 juta yang diimpor dari Eropa.
Bagian lain di rumahnya diisi puluhan koper yang berisi sekian banyak pakaian. “Setiap pakaian hanya saya kenakan sekali setiap enam bulan,” ujarnya menjelaskan. “Bagi saya, berpakaian dengan baik adalah bagian dari kekuatan manusia. Kadang istri saya merasa terintimidasi oleh begitu banyaknya koper. Perempuan adalah makhluk lemah.
Logika yang saya miliki sejak lahir kadang sulit diterima orang lain. Bahkan anak-anak saya tinggal di dalam kompleks dan jarang keluar. Orang-orang di sekitar sini berkata, ‘Mengapa mereka hidup seperti orang kulit putih, tidak pernah berjalan-jalan keluar?’ Tapi, orang Eropa yang berkunjung, mereka merasa nyaman di kompleks saya. Kata mereka, ‘Kau sama putihnya seperti kami.’”
!break!
Kingelez benar-benar muak pada Kinshasa, kota yang didiaminya, tapi tidak turut andil dalam pembangunannya. “Kinshasa adalah kota yang dipenuhi musisi yang keranjingan wanita, tapi tidak melakukan apa pun untuk kepentingan masyarakat,” katanya.
“Inilah sebabnya mengapa Kongo akan tetap miskin. Saya sangat membenci semua kebisingan ini, musik ini. Kita tidak bisa memikirkan masa depan apabila musik yang ingar-bingar ini terus diputar. Jika sepanjang malam kita terus berteriak-teriak, melompat, dan menari, maka di pagi hari kita tidak dapat melakukan sesuatu yang berharga.”
Kebencian Kingelez tentang kemunduran Kinshasa tidak diragukan lagi diperburuk oleh pengabaian kota atas dirinya. “Di sini, di Kinshasa, saya tidak pernah mengadakan pameran apa pun,” ujarnya mengakui. “Terus terang, tidak seorang pun tahu siapa saya atau apa yang saya kerjakan.”
Di balik kegeramannya, egonya sedikit terluka. Namun, Bodys Isek Kingelez sesungguhnya salah paham. Dia tidak berbeda dari kotanya. Bahkan, dia mencerminkan sikap para Kinois—dan merupakan puncak kota ini: Seorang Picasso Afrika dengan optimisme yang berani sehingga tidak membutuhkan siapa pun, apa pun, hanya tekad yang sangat gigih bersama kertas dan plastik bekas untuk membangun surga di Bumi, kerajaan modelnya.
Di dalam gudang karya seninya, Dario menyodorkan lukisan yang saya pesan. Potret anjing saya, Bill, dengan bingkai kayu—penafsiran yang cukup baik, dengan beberapa keunikan yang tidak biasa: Bill tampak berdiri di tepi Sungai Kongo.
Saya membayar harga yang telah disepakati, tetapi urusan saya dengan Dario belum selesai. Dia mengajak saya ke suatu tempat. Mengenakan sepatu koboinya, dia menyusuri jalanan berpasir yang terik di pasar Matete. Dia berhenti di sebuah pintu besi, mengetuk. Seorang wanita Kongo bertubuh besar mengenakan anting bundar emas mengizinkan kami masuk.
Dua pemain gitar akustik dan dua penabuh drum sedang memainkan sebuah lagu. Dario, ternyata, juga seorang musisi dan ini adalah band-nya. “Saya persembahkan lagu ini untuk Kongo,” ujarnya di teras, “yang dilanda perang, penderitaan, dan kelaparan. Negara saya.”
Dan saat musik terus bermain, Dario mulai menyanyi, “Afrika adalah matahari yang terbalik”—sang seniman bersenandung tanpa rintangan, dengan berani, dan seperti yang kami ketahui bersama, tak terbendung.
—
Penulis Robert Draper dan fotografer Pascal Maitre sering mengirimkan tulisan bersama-sama dari Afrika untuk majalah ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR