Gouws meyakini keunggulan perpaduan peternakan besar dan kecil. Kunci agar perusahaan didukung masyarakat lokal, menurutnya, cukup sederhana: Tepati janji.
Namun, jangan keliru, uanglah—bukan ide mulia untuk memberi makan dunia—yang memicu demam lahan di Afrika. Gelontoran kencang dana, teknologi, dan infrastruktur swasta itulah yang dibutuhkan pertanian global, demikian menurut para ahli FAO. mereka memperkirakan kita akan perlu berinvestasi 900 triliun rupiah setiap tahun di bidang pertanian di negara berkembang untuk memberi makan tambahan dua miliar orang pada 2050.
!break!
Saya singgah di sebuah gubuk bata-lumpur untuk mengobrol dengan Costa Ernesto, petani berusia 35 tahun, dan istrinya, Cecilia Luis. Kelima anak mereka berusia enam bulan sampai sebelas tahun. Saya bertanya kepada Ernesto, apakah jagung yang ditanamnya cukup untuk makan tahun itu. “Ya,” jawabnya bangga. Setelah beberapa kali didesak, Cecilia menambahkan: “Kalau kami selalu terus menyiangi, hasilnya cukup untuk kami sepanjang tahun.”
Ada dua orang lainnya yang ikut nimbrung saat kami mengobrol, dan saya bertanya apakah mereka mau menukar ladang kecil mereka dengan pekerjaan di perkebunan besar. Mengingat pakaian yang compang-camping, perut buncit, rumah dari bata-lumpur, dan kemiskinan mereka yang sangat kentara, pertanyaan itu terasa hampir tidak adil. Ya, jawab mereka, tanpa keraguan sedikit pun.
“Saya justru berdoa semoga ada kejadian semacam itu,” balas lelaki yang tertua.
Apakah di masa depan petani Mozambik akan senasib dengan petani industri di Iowa atau petani kecil tapi produktif di Vietnam? Tidak ada yang tahu pasti. Namun, ada satu hal yang disepakati semua pihak: Status quo ini tidak boleh dibiarkan.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR