26 Desember 2004. Pagi itu, Bahar, Kepala Desa Lamtengoh Kabupaten Aceh Besar, sedang menyibukkan diri di tengah sawah saat tiba-tiba tanah yang ia pijak, berguncang. Guncangan yang akibatnya tak pernah bisa dibayangkan oleh seorang pun saat itu.
Ketika kembali ke rumah, tiba-tiba anaknya berteriak, bahwa air laut yang garis pantainya terletak hanya sekitar 200 meter dari kampung mereka, naik. Bahar berseru sekuat tenaga kepada semua orang di desanya, memperingatkan mereka untuk lari ke gunung 500 meter di belakang permukiman.
“Saya bawa anak saya yang paling kecil,” kenang Bahar. Namun, balita yang baru berusia sebelas bulan itu terlepas dari tangannya saat diterjang air yang ia gambarkan seperti golakan blender. Setelah bebas dari impitan kayu dan berhasil naik ke gunung, ia bertemu dengan anak perempuannya, Dian Bahari, yang saat itu mengenyam pendidikan SMK.
Anak itu terduduk di atas batu dengan rambut yang sudah kusut. Saat melihat ayahnya ia berkata dengan lirih, “Ayah, apakah saya sedang bermimpi?” Sang ayah pun menjawab, “tidak nak, kamu tidak sedang bermimpi.”
Berbulan-bulan setelah kejadian itu, Kuntoro Mangkusubroto, yang akhirnya dilantik sebagai Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias, juga tak pernah bermimpi bakal menghadapi kekacauan yang ada di Aceh, untuk mengembalikannya nyaris seperti semula.
“Ini adalah persoalan manajemen yang paling kompleks yang pernah saya alami, dan menurut saya tidak ada yang mengalahkan hal ini,” ia berkata. Di lokasi yang tertimpa bencana dan dalam keadaan kacau-balau, timnya harus melakukan koordinasi dengan beragam organisasi, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk memberikan pengertian kepada GAM maupun TNI terkait keberadaan mereka, juga harus berhubungan dengan pihak Jakarta, “dengan birokrasinya yang ruwet,” kenangnya.
Uluran tangan datang untuk membangkitkan kembali kehidupan yang telah diporakporandakan hantaman gelombang raksasa. Bantuan peralatan untuk mendeteksi kedatangan tsunami secara dini serta sistem peringatannya, dikerahkan antara lain oleh Jerman, Amerika Serikat, serta Malaysia.
Alat deteksi dini gelombang dalam bentuk buoy yang juga merupakan karya BPPT, disebar di pesisir pantai Indonesia yang memiliki potensi ancaman tsunami. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari 25 unit buoy tsunami di perairan Indonesia, saat ini hanya tiga unit yang beroperasi, akibat kerusakan teknis.
Di markas BNPB di Jalan Ir. H. Juanda, Jakarta, saya berbincang dengan Sutopo Purwo Nugroho, Kepala pusat Data Informasi dan Humas. Di ruangan di samping saya, terlihat selembar peta Sinabung yang mencuat dari alat pencetak dengan lebar kira-kira serentangan lengan orang dewasa. Di dinding, terdapat layar besar berisi informasi terkait bencana Sinabung yang dipantau selama 24 jam.
“Sirene tsunami di Indonesia masih terbatas, belum sampai 100 buah, termasuk di Aceh enam buah,” paparnya. Padahal, menurutnya Indonesia dengan rentang pesisir yang luas, butuh ribuan sirene untuk memperingati masyarakat akan bahaya tsunami. Ia pun menjelaskan, bahwa BNPB dan BPBD atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah, membantu BMKG dalam membangun sirene berbasis komunitas.
“Contohnya di Sumatra Barat, Pacitan, Cilacap, dan Bantul,” lanjutnya. Sutopo memaparkan, saat peringatan dini tsunami dari BMKG diterima oleh masyarakat, petugas harus menekan tombol sirene untuk memperingatkan warga akan bahaya yang akan datang. “Setelah itu mereka harus mengungsi, dan tugas BNPB dan BPBD-lah untuk memberikan pelayanan dibantu lembaga lainnya,” lanjutnya.
Saat fotografer Yunaidi menyambangi beberapa fasilitas di Banda Aceh pada awal November silam, ia menyaksikan jalur evakuasi yang sempit dan kurang memadai untuk menampung massa yang harus melarikan diri menuju Bukit Seulawah di bagian barat kota, yang tidak mungkin ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit, dengan berlari.
Sistem penanganan peringatan dini bencana terutama tsunami yang dikerjakan bersama oleh BPPT, BMKG, serta BNPB ini membuat kening Kuntoro berkerut. Bertahun-tahun bergelut dengan masyarakat korban bencana, ia meragukan jika penanganan peringatan bencana besar, masih saja harus terbagi di beberapa instansi. “Harus satu tangan, satu perintah,” tegasnya. Ia berkaca pada pengalaman gempa 2012 yang sistem peringatannya tak lebih baik dari bencana sebelumnya. Evakuasi menimbulkan kemacetan, bahkan sirene di Uleelheue tidak menyala saat tombolnya ditekan oleh masyarakat, karena aliran listrik mati.
Pengalaman dilanda bencana memang membuat masyarakat Aceh lebih waspada. Lima tahun masa pasca-tsunami diperingati dengan melibatkan ribuan penduduk di wilayah Meuraksa, dalam simulasi yang dilakukan banyak pihak, termasuk Palang Merah Indonesia. “Oktober lalu, simulasi mengenang 10 tahun tsunami juga diselenggarakan di Blang Oi, Meuraksa, dengan melibatkan anak sekolah,” ungkap Fauzi Husaini, Kepala Sub Bidang Penanggulangan PMI Provinsi Aceh.
Didukung oleh Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah, PMI membangun program Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat yang dilaksanakan sejak 2006. Menurut Fauzi, hingga tahun ini, ada 350 desa dari sekitar 6.600 desa di Aceh yang memiliki rencana kontingensi. Di dalam program ini terdapat tim Sibat atau Siaga Bencana Berbasis Masyarakat, yang melakukan pelatihan dalam menghadapi petaka, selama lima hari. “Kami menyiapkan SDM untuk hal ini, namun kelemahan ada di anggaran,” ujar Fauzi. Saat dana dari PMI tak lagi mengalir, masyarakat tak pernah lagi mengadakan simulasi.
Sutopo menunjukkan perhitungan indeks kesiapsiagaan per kabupaten/kota 2012 yang antara lain meliputi indeks pengetahuan dan bencana, rencana tanggap darurat, serta peringatan dini bencana. Hasilnya, tingkat kesiapsiagaan masih rendah.
“Pengetahuan masyarakat tentang bencana sudah meningkat, namun belum jadi perilaku dan budaya,” ungkap Sutopo. Padahal, pada 2012, Susilo Bambang Yudhoyono menerima penghargaan Global Champion for Risk Disaster Reduction dari badan PBB, UNISDR. Menurut Sutopo, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini seperti SDM yang terbatas, luasnya wilayah Indonesia, serta kebutuhan dana yang belum tercukupi.
Saat fotografer Yunaidi menyambangi beberapa fasilitas di Banda Aceh pada awal November silam, ia menyaksikan jalur evakuasi yang sempit dan kurang memadai untuk menampung massa yang harus melarikan diri menuju Bukit Seulawah di bagian barat kota, yang tidak mungkin ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit, dengan berlari. Selain itu, dua buah bangunan yang didirikan sebagai tempat evakuasi tsunami berlantai empat yang ia datangi pun kurang terawat.
Dalam sepuluh tahun ini, apakah masyarakat yang tinggal di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Aceh, siap menghadapi bencana? “Kalau bencana sebesar tsunami Aceh, siapa pun tidak bakalan siap,” tegas Kuntoro. Kini, hasil kerja timnya hingga 2009 tertuang dalam bentuk BRR Institute, sebagai bentuk kewajiban berbagi ilmu kepada dunia yang telah membantu Indonesia dalam pemulihan Aceh dan Nias. Institusi ini kerap berbagi ilmu dengan negara-negara lain yang ditimpa bencana.
Di Lamtengoh, Bahar yang kehilangan istri dan seluruh anaknya yang berjumlah lima orang, telah terbiasa dengan simulasi sirene peringatan dini tsunami yang beroperasi dengan baik di daerahnya. Gampong atau kampungnya kini sudah berdiri kembali persis di tempatnya semula. “Sekarang kami sudah menjalani hidup baru, bekerja seperti biasa, dan sudah melupakan semuanya,” tegasnya. Ia yakin betul, bahwa tsunami tak akan lagi menerpanya. “Saya katakan, bisul tidak akan tumbuh di tempat yang sama,” pungkas Bahar.
---
Titania Febrianti dan Yunaidi, staf redaksi NGI, berkisah mengenai aplikasi Kalender Tanam yang membantu para petani, di edisi November 2014. Arif Ariadi memotret kegiatan yang dilakukan oleh BRR dari 2004 hingga 2009.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR