Nationalgeographic.co.id—Saya memiliki tiga kata dalam nama lengkap saya. Bagi orang, nama saya kepanjangan, padahal masih ada yang lebih panjang lagi. Wajar saja, nama semakin panjang karena banyak orang tua yang yakin bahwa nama adalah doa. Semakin panjang namanya, ada banyak doa yang disematkan.
Patronomik ini berbeda dari generasi-generasi terdahulu yang cukup sederhana, hanya memasukkan nama depan dan nama marga.
Nama belakang bukanlah hal yang umum di berbagai budaya. Beberapa kebudayaan tertentu tidak punya tradisi memberikan nama keluarga, ayah atau ibu, klan atau marga mereka pada nama. Dalam kebudayaan Jawa tradisional, nama hanya diberi satu kata saja, karena tidak mengenal konsep marga.
Di berbagai belahan dunia lain, pada awalnya memang nama hanya menggunakan satu kata saja. Lantas, bagaimana nama belakang bisa ada?
Kemunculan nama belakang bisa berbeda-beda di setiap kebudayaan. Hal ini dipengaruhi cara pandang kebudayaan dalam memandang posisi seseorang, seperti kasta, asal keluarga, pekerjaan, dan bentuk fisik mereka.
Nama Belakang Masyarakat Eropa
Ketika zaman Yunani kuno maju, kita hanya mengenal nama tokoh dengan satu nama seperti Ptolaemeus, Archimedes, Socrates, Plato, atau Aristoteles. Tokoh terkenang dalam sejarah akan diberi gelar seperti Aleksander Agung dan Agrippa si Skeptis. Ada pun nama julukan di belakang dari nama tempat asalnya seperti Aleksander dari Aegea dan Hegesinus dari Pergamon.
Nama belakang menjadi populer selama periode Kekaisaran Romawi. Tradisi ini menyebar ke seluruh pesisir Laut Mediterania, termasuk ke Eropa Barat. Kita bisa melihat beberapa kaisar Romawi memiliki nama lebih dari satu kata seperti Julius Caesar, dan Marcus Aurelius Antoninus.
Nama lebih dari satu kata ini biasanya merujuk pada nama keluarga atau klan. Misal, pada Julius Caesar yang bernama lengkap Gaius Julius Caesar. Nama pribadinya adalah Gaius dengan Caesar sebagai nama keluarga yang berasal dari klan Julia (Julius).
Tradisi ini sempat sirna pada Abad Pertengahan, setelah Kekaisaran Romawi runtuh. Masyarakat Eropa kembali menggunakan nama julukan sebagai tambahan, bukan resmi. Hal ini dipengaruhi dengan kebudayaan Yunani dan Kekristenan.
Kemudian nama julukan, asal keluarga, dan status sosial, kembali menghadirkan nama belakang di akhir abad pertengahan. Beberapa sejarawan berpendapat penggunaan nama keluarga menyebar dari Kekaisaran Romawi Timur secara bertahap ke Eropa Barat.
Pada abad pertengahan, Spanyol pun memiliki sistem penamaan dari bentuk fisik, lokasi geografis atau etnis, gelar, dan pekerjaan. Misalkan namanya Juan Moreno. Nama belakangnya adalah Moreono yang merujuk pada keluarga. Akan tetapi, nama ini sebenarnya merujuk pada kebiasaan pribadi sang keluar terdahulu yang lebih dikenal sebagai moreno yang berarti kurus.
Peneliti BRIN dan Inggris Berkolaborasi Mengatasi Permasalahan Sampah Plastik di Indonesia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR