Sementara itu, bagi tentara yang tetap hidup, metode diagnosis yang dapat diandalkan masih belum tersedia. Pada Juni 2011, New England Journal of Medicine menerbitkan hasil penelitian yang untuk pertama kalinya berhasil mendeteksi kelainan struktural pada otak tentara yang terkena ledakan dengan menggunakan MRI tingkat lanjut. Meskipun dipuji sebagai penelitian sangat bermakna dalam bedah editorial, tulisan itu memiliki kelemahan karena setiap peserta dalam penelitian itu juga mengalami trauma lain, seperti pernah dipukul oleh benda tumpul atau mengalami kecelakaan kendaraan bermotor.
Sejumlah penelitian yang menyelidiki beberapa biomarker mungkin menghasilkan temuan yang dapat membantu diagnosis di masa mendatang: Contohnya, sebuah uji darah untuk penanda protein unik yang dapat menandakan ada kerusakan sel otak telah terbukti menjanjikan, dan sekarang sedang diuji oleh kalangan militer. (Uji darah ini efektif hanya jika dilakukan dalam waktu beberapa hari setelah cedera.) Pada 2014, sebuah penelitian kecil terhadap 52 orang veteran berhasil menggunakan teknik MRI yang meneliti tingkat myelin, komponen utama dari materi-putih otak; Bukti kerusakan materi-putih otak terdeteksi pada 34 veteran yang pernah mengalami satu atau lebih ledakan, dibandingkan dengan 18 veteran yang tidak pernah mengalaminya.
“Kami mengatakan kepada para veteran itu untuk memberikan perkiraan terbaik mereka tentang berapa banyak cedera otak traumatis ringan akibat-ledakan yang mereka alami selama bertugas sebagai tentara,” kata Eric Petrie, guru besar psikiatri dan penulis utama penelitian itu. “Namun, seberapa akurat para veteran itu dapat mengingat berbagai kejadian itu? Beberapa di antara peserta penelitian itu mengalami ledakan terakhir lima hingga enam tahun sebelumnya, “katanya.
Di masa mendatang, bahan kristal fotonik yang berubah warna bila terkena gelombang ledakan, yang dipakai sebagai stiker pada seragam dan helm, dapat memberikan angka yang objektif mengenai paparan pada ledakan.
Meskipun ada berbagai strategi yang menjanjikan, untuk sementara diagnosis masih tergantung pada, seperti yang terjadi dalam Perang Dunia I, penilaian klinis, yang sekarang mungkin melibatkan pemeriksaan dengan komputer. “Apakah Anda mengalami salah satu dari hal berikut: linglung, bingung, mata berkunang-kunang? Seberapa tepatkah kata ini menggambarkan perasaan Anda? ‘Gemetar.’”
!break!
Meskipun sangat rumit, ledakan dapat dilakukan dengan biaya rendah dan tanpa keahlian khusus. Penembus bentukan ledakan, yakni sejenis IED yang digunakan untuk menusuk kendaraan lapis baja, dapat dirakit dengan biaya beberapa puluh ribu rupiah saja. Cakram yang berubah bentuk menjadi peluru dan panas sekali saat terbang di udara, proyektil yang dapat meledak ini bisa, menurut seorang pakar persenjataan, membelah mobil lapis baja “seperti pisau membelah mentega panas.” Dengan cara ini, teknologi seharga Rp300.000 dapat menghancurkan kendaraan lapis baja juta berharga Rp12 miliar dan menewaskan atau menimbulkan cedera pedih pada para tentara yang berada di dalamnya. Biaya perawatan medis mereka—mungkin selama beberapa dekade—tentu memperbesar perbedaan selisih harga tersebut. Mengingat efektivitas biaya ini, kekuatan ledakan cenderung akan tetap menjadi senjata paling lazim dalam perang modern.
Dewasa ini, sementara para peneliti berusaha mencari tahu apa yang terjadi di saat kekuatan ledakan menghantam otak manusia, tidak terhitung jumlah tentara yang berjuang mengatasi akibat pengalaman tersebut.
!break!
BOOM. Ketika sedang berpatroli di Irak pada 2009, Robert Anetz merasakan tekanan besar menghantam tubuhnya. Kemudian, semuanya mati rasa. “Semua orang mulai berteriak, ‘Kamu tidak apa-apa? Kamu tidak apa-apa? “Saya memeriksa apakah ada luka,” kata Anetz. Tidak ada darah, jadi ia mengira dirinya tidak apa-apa.
Namun, tujuh bulan setelah pulang dari Irak, ia mengalami kejang-kejang saat mengemudi, dan kejang grand mal (kontraksi otot yang hebat) enam bulan setelah itu. Sekarang Anetz menata kembali hidupnya sebagai mahasiswa dan sukarelawan pemadam kebakaran. Pengobatan berat yang mengharuskannya minum 15 macam obat sudah berkurang menjadi hanya tiga macam saja. Tetapi, sakit kepala dan migrain masih sering dialaminya.
Enrique Trevino, yang pada usia 21 selamat dari sergapan IED besar-besaran di Afganistan pada di suatu malam, dua minggu sebelum pulang ke Amerika, hanya ingat ada kilatan yang sangat terang, lalu teman-temannya menyerukan namanya. “Saya tidak akan pernah melupakan kilatan terang itu,” katanya. “Mirip sambaran petir.” Ketika akhirnya terbangun di Texas, ia baru tahu bahwa ledakan yang menghancurkan kacamata pelindungnya untuk dapat melihat di waktu malam juga membuatnya tidak dapat bicara, dan membuatnya tidak dapat melihat ke samping. Saat ini, ia sedang berusaha melatih kembali otaknya dengan tugas mental seperti menghitung mundur dari 50. Tetapi, setiap hari ia masih mengalami migrain dan bermimpi buruk saban malam.
Sekitar setahun setelah ia pulang, Trevino mengatakan, “saya mengalami gangguan saraf parah.” Ia selamat dari usaha bunuh diri. Seorang temannya yang juga pernah bertugas di Afganistan tidak tertolong, dan tewas karena bunuh diri. “Jenazahnya ditemukan di rumahnya,” kata Trevino. “Dia, dia—tak seorang pun mengira—tak seorang pun akan pernah mengira—tak seorang pun pernah, tidak ada, tidak ada, tidak ada yang mengira bahwa dia…. Tidak ada yang mengira...”
Dan, tidak ada yang mengira kejadian serupa akan menimpa kakak ipar saya, Ron Haskins. Darinya saya pertama kali mengetahui tentang breacher. Setelah pensiun dari Pasukan Khusus Angkatan Darat, ia bekerja di perusahaan pasukan keamanan swasta di Irak. Ia selamat dari dua serangan IED yang membuatnya sering sakit kepala dan telinga mendenging begitu nyaring, yang membuatnya tidak dapat tidur. Setelah kembali ke Amerika Serikat, ia bekerja di Departemen Keamanan Dalam Negeri dan menyelenggarakan kursus pelatihan breacher untuk sebuah perusahaan keamanan milik sendiri. Suatu malam pada musim panas 2011, karena alasan yang tidak dipahami siapa pun, ia mengambil pistol dan mengakhiri hidupnya.
“Kalian harus datang ke New Mexico agar dapat melihat peralatan pelatihan breacher itu, bagaimana meluncurkan ledakan,” kata Ron kepada saya tentang kursus pelatihan yang dipimpinnya. “Kita berada pada jarak satu kilometer, dan pasti tercengang merasakan sendiri betapa benda yang beratnya hanya beberapa kilogram itu dapat mengguncangkan tanah di sekitar kita.”
---
Terjemahan Caroline Alexander atas Iliad karya Homer akan diterbitkan tahun ini oleh Ecco Press. Kontributor Lynn Johnson ditunjuk sebagai salah satu National Geographic Photography Fellows.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR