Baling-baling Britten-Norman Islander menderu di atas bentangan tajuk-tajuk hutan belantara. Pesawat perintis itu membawa delapan orang, dan saya salah seorang di antara mereka. Kami bersiap melakukan pendaratan di antara perbukitan hutan yang sebagian besar tampak dibuka untuk ladang. Long Ampung, demikian sebutan lapangan terbang kecil di jantung rimba Borneo itu.
Tatkala roda-roda pesawat menyentuh landas pacu, saya melongok pemandangan dari jendela pesawat. Tampak bangunan terminal hanya berupa sebuah rumah kayu yang dipenuhi oleh sekumpulan perempuan bertopi saung yang menanti kedatangan pesawat. Sesaat setelah baling-baling pesawat berhenti berputar, orang-orang—yang entah datang dari mana—segera beringsut lalu berhamburan menghampiri pilot sambil menanyakan perihal barang pesanan mereka. Sebagian yang lain menyodor-nyodorkan daftar belanjaan baru. “Ini sudah rutinitas, Mas,” kata pilot kepada saya, “maklum, saya ini sudah seperti toko terbang untuk daerah terpencil ini.”
Pesawat berpropeler yang saya tumpangi itu memang dipenuhi berbagai macam barang, di antaranya obat-obatan, makanan kaleng, minyak goreng, berbagai perkakas, sabun dan beragam perlengkapan mandi lainnya, hingga kotak-kotak berisi aneka produk kosmetik.
Saya masih ingat. Saat itu, 15 tahun lalu, adalah pertama kalinya saya berjejak di Long Ampung, dataran tinggi Apau Kayan. Daerah belantara ini terletak di perbatasan Provinsi Kalimantan Utara, Indonesia, dengan Negeri Sarawak di Malaysia. Apau Kayan merupakan satu dari dua wilayah perbatasan Indonesia di Kalimantan yang pada saat itu hanya dapat diakses melalui pesawat udara. Wilayah ini dihuni oleh kelompok etnis Kenyah, Kayan, dan Punan yang tersebar dalam beberapa desa.
Saat itu, jalan darat ke wilayah Indonesia belum ada. Sementara perjalanan melalui Sungai Kayan ke kota terdekat, Tanjungselor, berjarak 450 kilometer dan memakan waktu tempuh selama satu bulan.
Di samping itu, rintangan alam terbesar di sepanjang Sungai Kayan adalah rentetan jeram sepanjang 29 kilometer yang dikenal dengan Giram Ambun. Dibukanya jalur penerbangan pesawat perintis dari Samarinda ke Long Ampung sejak 1985 merupakan awal terbukanya keterisolasian daerah Apau Kayan dari wilayah lain di Indonesia.
!break!
Apau Kayan dihuni oleh kelompok etnis Kenyah, Kayan, dan Punan yang tersebar dalam beberapa desa. Pada kedatangan saya yang pertama, pola permukiman di Apau Kayan sedang berada dalam transisi, dari pola hidup komunal dalam rumah panjang (betang) ke permukiman individual.
Di Desa Nawang Baru, saat itu masih terdapat lebih dari enam betang, sedangkan di Long Nawang jumlah betang telah berkurang drastis akibat perpindahan banyak keluarga yang saat itu tengah berlangsung ke wilayah Sungai Boh, yang terhubung dengan wilayah hulu Sungai Mahakam. Perpindahan ini didorong oleh kelangkaan maupun mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok maupun berbagai pelayanan sosial seperti pelayanan kesehatan. Saat itu, satu liter minyak, baik minyak tanah maupun bensin, berharga empat kali lipat dari harga pasar yang normal di kota-kota besar.
Banyak orang melihat kelompok-kelompok etnis sebagai masyarakat yang terisolasi dan statis. Ini bertolak belakang dengan orang Apau Kayan. Sejarah mereka tidak dapat dipisahkan dari rangkaian peristiwa migrasi yang hingga kini pun masih berlangsung.
Perjumpaan saya dengan Pelencau Bilung, seorang tetua adat Kenyah saat itu, memberikan gambaran tentang sejarah suku Kenyah yang diawali di wilayah Sarawak
Menurut sejarah lisan mereka, suku Kenyah pada awalnya bermigrasi dari hilir Sungai Baram di Sarawak menuju ke dataran tinggi Usun Apau di dekat perbatasan Sarawak-Kalimantan. Dari sana, berbagai sub-kelompok (Leppo’ atau Uma’) berpindah lagi ke dataran tinggi Apau Da’a di hulu sungai Iwan yang terletak di Kalimantan. Dari sana, berbagai suku berpencar; ada yang kembali ke Sarawak, tetapi sebagian besar lainnya mengikuti aliran Sungai Iwan hingga ke Apau Kayan yang terletak di hulu Sungai Kayan.
Menurut perkiraan, migrasi ke Apau Kayan berlangsung selama paruh kedua abad ke-19. Sejak 1875, Apau Kayan dihuni oleh tak kurang dari delapan sub-suku Kenyah, yaitu Leppo’ Tau, Leppo’ Timai, Uma’ Kulit, Uma’ Bakung, Leppo’ Jalan, Uma’ Baka, Badeng dan Uma’ Tukung, ditambah etnik Kayan Uma’ Lekan, Punan Busang, Punan Aput dan Punan Oho.
Berdasarkan catatan controleur (petugas pengawas) Belanda, Van Walchren, jumlah populasi penduduk Apau Kayan diperkirakan mencapai puncaknya pada 1906, yakni sebanyak 19.600 jiwa. Sejak 1930, jumlah penduduk di Apau Kayan telah mengalami penurunan. Penurunan jumlah penduduk ini diperkirakan terkait erat dengan proses migrasi lanjutan yang didorong oleh terbuka lebarnya akses ke aliran sungai Balui dan Batang Rajang di Sarawak sejak perdamaian antara etnik Kenyah dan etnik Iban di Sarawak tercapai pada 1924.
Meski penduduk Apau Kayan merupakan petani ladang gilir balik yang dapat memenuhi sebagian besar kebutuhan hidupnya, keterisolasian geografis menyebabkan suplai komoditas seperti garam dan berbagai barang-barang ritual seperti manik-manik, gong, dan kain belacu sulit diperoleh. Untuk memenuhi kebutuhan barang-barang penting ini, mereka sangat bergantung pada perdagangan barter dengan wilayah-wilayah hilir Pulau Borneo.
!break!Hasil hutan seperti batu geliga (bezoar stones), daun gambir, cula badak, getah perca, maupun damar dipertukarkan dengan komoditas-komoditas ini. Untuk melakukan ini, warga mengorganisasi ekspedisi-ekspedisi dagang, yang dikenal dengan istilah peselai (merantau), ke wilayah-wilayah pesisir.
Tingginya pajak garam yang dikenakan, baik oleh Sultan Kutai di hilir Sungai Mahakam maupun Sultan Bulungan di hilir Sungai Kayan, menyebabkan penduduk Apau Kayan enggan berdagang ke wilayah Kalimantan bagian timur. Mereka lebih memilih berorientasi dagang ke wilayah Sarawak, yang secara geografis menguntungkan, karena memiliki sungai-sungai yang lebih pendek dan mudah diarungi.
Kawasan Sarawak itu dikuasai oleh pemerintahan Vyner Brooke yang berpihak kepada perdagangan bebas, dan memiliki kedekatan akses ke Laut Tiongkok Selatan yang menjadi sentra bagi perdagangan batu geliga maupun cula badak. Satu-satunya halangan bagi akses masyarakat Apau Kayan ke pasar-pasar di wilayah Sarawak adalah perseteruan mereka dengan suku-suku Iban di Batang Rajang, yang berujung pada perang pengayauan (headhunting) antara 1921-1923.
Pada 1924, pemerintahan Brooke di Sarawak mensponsori sebuah perjanjian perdamaian di antara keduanya untuk melancarkan arus komoditas dari Apau Kayan ke wilayah Sarawak. Salah satu dampak lanjutannya adalah perpindahan beberapa kampung dari Apau Kayan ke Sarawak, untuk mendekati akses pasar maupun pasokan barang-barang.
Meski Apau Kayan secara resmi berada dalam kekuasaan kolonial Belanda sejak 1911, eksodus beberapa kampung maupun orientasi mobilitas masyarakat Apau Kayan ke Sarawak menjadi salah satu halangan utama bagi Belanda untuk mengintegrasikan wilayah Apau Kayan secara efektif ke dalam wilayah jajahannya. Kondisi ini juga dialami pemerintah Indonesia, hingga awal tahun 2000-an.
Sejak Indonesia merdeka, kebutuhan akan akses ke pasar, pelayanan kesehatan, maupun pendidikan telah menyebabkan eksodus besar-besaran dari Apau Kayan, baik ke wilayah hilir di Kalimantan Timur maupun ke Sarawak. Pemerintah Indonesia di satu pihak memfasilitasi perpindahan ini melalui program Resettlement Penduduk (RESPEN) selama 1970-an, namun tidak dapat mencegah perpindahan ke Sarawak.
Sebagai contoh, pada 1966, kampung Long Betaoh pecah menjadi dua, ketika delapan rumah panjang pindah dan mendirikan kampung baru di Long Busang, di hulu sungai Balui. Peristiwa ini disusul oleh perpindahan kampung-kampung lainnya, hingga periode 1990-an, yakni kampung Long Metulang pada 1972 ke Long Singut di Batang Baleh, perpindahan kampung Long Ikeng dari Sungai Iwan ke Long Unai pada 1984. Lalu, disusul juga dengan sebagian penduduk Long Metun yang bergabung ke Long Unai pada 1992-1993.
Namun, perpindahan beberapa desa ke wilayah Sarawak ini tidak sampai memutus rantai keterhubungan komunitas adat Kenyah.
Bagi sebagian masyarakat Apau Kayan, desa-desa Kenyah di wilayah Sarawak ini masih dianggap sebagai bagian integral dari wilayah Apau Kayan. Mereka tidak menganggap batas administrasi negara sebagai hal yang penting.
!break!Saya kembali ke apau kayan melalui jalan darat dari wilayah Sarawak pada musim kemarau 2013. Perjalanan ini ditempuh selama tiga hari dari Kota Sibu di pesisir barat Sarawak yang menjadi pintu gerbang menuju pedalaman sungai Batang Rajang. Perjalanan selama dua hari ditempuh dengan kapal cepat komersial melalui Kota Kapit hingga ke titik akhir layanan kapal-kapal ekspres di sebuah dermaga kayu balak di Putai.
Mulai dari sini, perjalanan ke Long Nawang di Apau Kayan melalui jalan logging sepanjang kurang lebih 240 kilometer. Saya bisa menumpang truk-truk kayu balak atau mobil-mobil pikap milik penduduk pedalaman. Sepanjang jalan ini, hanya terdapat tiga kampung yang dapat diakses, dan semuanya merupakan desa perpindahan dari wilayah Apau Kayan di Indonesia.
Salah satunya adalah kampung Long Busang, yang dihuni oleh etnik Kenyah Badeng yang pindah pada 1966 dari Long Betaoh di Apau Kayan. Pada awalnya, saya mampir ke Long Busang untuk melihat suasana perayaan hari raya Idul Fitri di sana. Long Busang adalah satu-satunya kampung Kenyah yang memiliki penganut Islam. Pejawa Bilung, ketua kampung Long Busang, pernah berkisah kepada saya lima tahun sebelum dia meninggal. Keberadaan penganut Islam, ungkap Pejawa, tidak bisa dipisahkan dari sejarah perjuangan kampung Long Busang yang mendapat pengakuan resmi dari Pemerintah Malaysia sesudah perpindahan mereka dari Long Betaoh.
Cerita perpindahan ini berawal dari masa konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia yang terjadi pada kurun 1963-1966. Menurut cerita, sebuah patroli pasukan Gurkha pada awal 1965 berhasil menyusup dari Sarawak ke Long Betaoh yang merupakan wilayah Indonesia, sekaligus desa pertama di garis perbatasan kedua negara. Karena tidak terlalu mengerti konteks konflik konfrontasi maupun implikasi dari perbuatannya, Pejawa Bilung sebagai kepala desa mempersilakan mereka beristirahat untuk beberapa hari dalam rumah panjang mereka.
Kejadian ini pada awalnya tidak diketahui oleh tentara Indonesia maupun pasukan gerilya Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) yang saat itu berbasis di Long Nawang. TNKU sendiri merupakan gabungan dari para pemberontak Brunei maupun Sarawak yang pada saat itu menentang berdirinya negara Federasi Malaysia.
!break!Ketika itu, tokoh gerakan kemerdekaan Sarawak, Ahmad bin Zaidi, merupakan salah satu pimpinan TNKU yang bersembunyi di Long Nawang dari kejaran pasukan Malaysia dan Inggris. Selama berada di Apau Kayan, Ahmad berteman baik dengan para kepala kampung di Apau Kayan, termasuk Pejawa.
Peristiwa penyusupan pasukan Gurkha ini akhirnya diketahui oleh komandan tentara Indonesia, dan Pejawa mendapat sanksi keras. Menurut paparan anaknya, Pejawa dipaksa berjemur di bawah sinar matahari selama beberapa hari di Long Nawang, dan sempat dibawa selama beberapa bulan ke Jakarta untuk diinterogasi. Sebagai hukuman, hewan peliharaan masyarakat Long Betaoh ditembaki oleh tentara, dan perahu-perahu mereka ikut dirusak. Sejak kejadian itu, hubungan masyarakat Long Betaoh dengan kampung-kampung lain di Apau Kayan menjadi dingin, meski mereka sebetulnya masih memiliki ikatan-ikatan kekerabatan.
Selama konfrontasi berlangsung, berbagai kelompok peselai dari Long Betaoh juga tertahan di Sarawak dan tidak diperbolehkan pulang ke Apau Kayan karena dikhawatirkan mereka akan memberikan data intelijen kepada tentara Indonesia di Long Nawang. Meski demikian, kelompok-kelompok peselai ini diperbolehkan oleh pasukan Gurkha mendirikan kampung sementara di hulu sungai Balui, Long Iran, hingga konfrontasi berakhir.
Long Iran sendiri berjarak sekitar 40 kilometer dari Long Betaoh, relatif dekat untuk ukuran jarak di Borneo. Saat konfrontasi berakhir pada 1966, mereka yang telah bermukim di Long Iran mengajak sanak keluarga mereka di Long Betaoh untuk bergabung.
Pertimbangan akan kemudahan akses ke pasar di Sarawak ditambah dengan merenggangnya hubungan masyarakat Long Betaoh dengan tentara Indonesia maupun penduduk lain di Apau Kayan, mendorong hampir seluruh masyarakat Long Betaoh pindah ke Long Iran, di bawah pimpinan Pejawa. Kecilnya ketersediaan lahan di Long Iran mendorong mereka untuk mencari tempat yang ideal, yang memiliki kapasitas cukup.
Pilihan jatuh pada Long Busang, yang berjarak sekitar 35 kilometer ke arah hilir. Sejak tahun 1969, perpindahan warga ke Long Busang pun rampung.
!break!Saya berjumpa dengan Yusuf Zawawi, Tua Kampong Long Busang yang juga merupakan putra dari Pejawa. Dia bercerita kepada saya, bahwa masuknya sebagian penduduk Long Busang menjadi Islam tidak bisa dipisahkan dari pertemanan Pejawa Bilung dan Ahmad Zaidi yang terjalin sejak masa konfrontasi di Long Nawang.
Ahmad telah kembali ke Sarawak selepas konfrontasi dan direhabilitasi oleh pemerintah Malaysia. Dia kembali menjadi tokoh politik penting di Sarawak sejak 1970-an, bahkan diangkat sebagai Yang Dipertua Negeri Sarawak antara 1985 hingga kematiannya pada 2000. Salah satu halangan yang pertama kali dihadapi Long Busang adalah legalitasnya sebagai kampung yang telah berpindah negara.
Saya melakukan perjalanan dari Long Busang ke Long Nawang melalui jalan balak sekitar 150 kilometer. Jika ditarik garis lurus, sejatinya jarak antara Long Busang dan Long Nawang hanya sekitar 80 kilometer, jarak yang terbilang cukup dekat untuk konteks pedalaman Kalimantan.
Perjalanan melintas batas sekarang dapat ditempuh langsung dengan mobil. Sepuluh tahun silam, perjalanan masih harus dilakukan dengan berjalan kaki sepanjang 16 kilometer dari ujung jalan di Sarawak, hingga awal dari jalan yang menghubungkan perbatasan dengan camp BBM di Sungai Pengian.
Namun, sekarang kondisi perbatasan agak berubah. Selain jalan kasar yang telah menyambungkan jalan antar dua negara, perbatasan di Indonesia sekarang ditandai oleh hadirnya pos pengamanan perbatasan Tentara Nasional Indonesia. Kini, camp BBM sudah tidak ada, dan sebuah jembatan kokoh telah dibangun di atas Sungai Pengian, menyambung jalan dari perbatasan hingga Desa Long Nawang.
Pemandangan juga telah berubah. Jalan-jalan setapak yang dulunya menghubungkan desa-desa di Apau Kayan telah digantikan oleh jalan mobil. Suara-suara mesin perahu pun telah digantikan oleh deru mobil dan motor. Sebuah kesan keterasingan menghinggapi saya. Episode waktu yang diisi oleh perjalanan-perjalanan berperahu, dan perjalanan jalan kaki selama berjam-jam dari kampung ke kampung telah menjadi bagian dari sejarah.
!break!Dari semua tetua yang pernah saya jumpai, Pegun Dian adalah satu-satunya penyintas yang masih tersisa. Semua bapak angkat saya lainnya, PeUbang Ding dan Pelencau Bilung, telah tiada. Dalam kunjungan sebelumnya, saya gagal menemui Pegun karena dia sedang mengurus penjemputan jenazah keponakannya, yang meninggal akibat kecelakaan logging di Sarawak.
Dia sekarang berumur di atas 80 tahun. Saya pertama kali mengenalnya sebagai Kepala Desa Nawang Baru yang memiliki semangat bercerita yang tinggi. Saya masih ingat satu ciri khasnya: mulut yang selalu kemerahan akibat kunyahan daun sirih. Pada kali ini, saya bersemangat untuk melanjutkan wawancara yang telah terhenti selama 10 tahun. Saya mendapat beberapa kisah menarik tentang dirinya selama di Sarawak.
Siapa pun yang pernah mengunjungi Sarawak Museum (kini Muzium Etnologi) di Kuching pasti akan mengingat sebuah lukisan ukiran khas Kenyah raksasa di dinding dalam gedung tersebut. Beberapa catatan dari museum menunjukkan bahwa lukisan itu dikerjakan oleh beberapa seniman ukir yang berasal dari Long Nawang antara 1959-1960.
Salah satu seniman ukir itu bernama Tusau Padan, yang kemudian memutuskan untuk menetap di Sarawak dan mendapat penghargaan dari pemerintah Sarawak sebagai salah satu pelestari budaya Kenyah.
Saya sendiri berusaha untuk menggali kisah kedatangan para seniman ini, namun hampir semuanya telah meninggal dunia. Ironisnya, di Sarawak saya memperoleh informasi bahwa masih ada satu anggota rombongan ini yang masih hidup di Long Nawang—meski saat itu dia merupakan anggota termuda dan pembantu rombongan. Saya juga memperoleh cerita lain bahwa pemuda yang sama juga ikut dalam rombongan tentara TNKU yang menyerang pos Gurkha di kampung Long Jawe pada September 1963, di masa awal konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia.
Ternyata orang ini bernama Pegun Dian.
Pegun berkata, awal keberangkatan para seniman Kenyah dari Apau Kayan ke Kuching adalah berkat undangan pribadi dari Tom Harrisson, yang pada 1959 menjabat sebagai Direktur Sarawak Museum.
“Tuan Harrisson itu memang teman baik orang-orang tua kami, karena waktu Perang Dunia Kedua, dia diterjunkan dengan payung ke sungai Bahau untuk mencari informasi intelijen tentang kekuatan pasukan Jepang di Long Nawang. Dia kerja untuk tentara Australia,” kenang Pegun. “Itu pertama kalinya orang Kenyah melihat parasut, dan karenanya dia kami panggil Tuan Payung.”
Tom sendiri meninggalkan banyak catatan tentang kisahnya di Long Nawang dan pertemanannya dengan tetua-tetua suku Kenyah di sana. Dia, misalnya, juga menulis bahwa “ukiran gaya Long Nawang merupakan ukiran dengan kualitas tertinggi yang pernah saya lihat di seluruh Borneo, dan karena itu saya mengundang teman-teman saya ke Kuching.”
!break!Tom juga sempat meminta Pebit Ncuk, kepala Adat Besar Apau Kayan, untuk menulis artikel tentang Sanksi Adat Kenyah Leppo’ Tau dalam Sarawak Museum Journal. Artikel itu, berjudul Three Leppo Tau Punishment Stories yang terbit pada 1965, dan masih sempat dikirim ke Tom sebelum konfrontasi pecah.
Menurut Pegun, Tom juga berperan dalam melindungi orang-orang Kenyah dari Apau Kayan di Sarawak selama konfrontasi berlangsung. Antara 1963 hingga 1966, terdapat ratusan orang dari Apau Kayan yang tidak jadi dideportasi oleh pemerintah Malaysia karena perlindungan pribadi dari Tom Harrisson.
Pegun Dian juga bercerita kepada saya bahwa dia pernah menjadi satu dari sekitar 200 laki-laki Kenyah yang diminta membantu TNKU dalam penyerangan ke desa Long Jawe di Sarawak.
“Kami waktu itu tidak tahu maksud dari penyerangan itu. Kata tentara (TNKU), kita mau menyerang untuk memerdekakan Sarawak dari jajahan Inggris. Nah, kami diminta ikut untuk mengajak warga Long Jawe mendukung Konfrontasi. Apalagi Long Jawe juga merupakan saudara kami pindahan dari Apau Kayan.”
Setelah beberapa bulan latihan menembak di Sungai Iwan, Pegun dan rombongan langsung menuju ke Sarawak tanpa diberi kesempatan memberitahu keluarga mereka. Perjalanan ke Long Jawe ditempuh dalam dua minggu, termasuk usaha menyeret perahu-perahu melintasi pegunungan yang memisahkan sungai-sungai di Indonesia dan sungai-sungai di Malaysia. Penyerangan sendiri berlangsung dengan “sukses”: pos Gurkha berhasil dilumpuhkan sementara warga Long Jawe yang ketakutan diminta tetap berdiam di dalam rumah panjang.
Selama penyerangan itu, ada saudara mereka yang pendeta juga turut memimpin kebaktian dalam rumah panjang supaya ibu-ibu tidak ketakutan. Kala itu mau berperang juga susah, demikian kenang Pegun. Mereka masih kelaparan karena selama dua minggu perjalanan mereka kurang makan. “Saya ingat ada yang menyerang pos perbekalan Gurkha dan langsung memakan gula pasir, sampai lupa perang,” kenang Pegun sambil tertawa.
Tiga hari kemudian, berita penyerangan telah dilaporkan ke tentara Inggris di Belaga dan usaha pengejaran pun dimulai. Rombongan penyerang diserbu oleh helikopter AU Inggris yang menyisir wilayah hulu sungai di dekat wilayah perbatasan.
“Kami waktu itu lari sampai kocar kacir. Ada yang berhasil kembali ke Long Nawang dalam waktu satu minggu, tapi ada juga yang pulang satu bulan kemudian dengan tubuh kurus kering,” kenang Pegun.
Dia melanjutkan, “Tapi, sekarang hubungan kami dengan Malaysia bagus sudah, saudara pun banyak di sana. Tahun 1967 kami membuat perjanjian perdamaian di Long Jawe, dan sejak itu, kami kembali bisa masuk dan bekerja di Sarawak dengan normal.”
Pegun, barangkali, adalah generasi terakhir yang mengalami kecairan hubungan antara Apau Kayan dengan Sarawak sebelum perbatasan kedua negara diformalkan. Meski secara de facto perbatasan masih dapat dilalui dengan mudah tanpa paspor, mereka yang dari Apau Kayan sekarang tidak dapat secara leluasa berkelana di Sarawak seperti halnya pada 1959, ketika mereka diundang secara resmi oleh Museum Sarawak tanpa perlu cemas soal legalitas dokumen. Berbeda dengan kosmopolitanisme generasi Pegun Dian, generasi sekarang hanya mengenal Sarawak sebatas kamp logging.
Sambil menutup perbincangan, saya mengamati bahwa Pegun Dian tidak lagi mengunyah daun sirih. Saya bertanya, mengapa dia tidak lagi nyepa (makan sirih)? Dia menjawab dengan tertawa lebar, “Saya ini baru saja pulang dari Mesir dan Israel atas bantuan biaya dari Dinas Agama Pemerintah Kabupaten Malinau. Masak sudah melihat Tanah Suci tapi masih nyepa?”
Sejarah panjang migrasi lintas negara dan konfrontasi memang telah memahat kepribadian orang Apau Kayan. Mereka cenderung moderat dan terbuka terhadap perubahan. Sebagai masyarakat yang lebih banyak melakukan aktivitas ekonomi di wilayah Sarawak, nasionalisme menjadi urusan yang semu, dan dalam berbagai sisi, tidak relevan.
Seiring dengan perubahan besar yang terjadi di Apau Kayan, transformasi seorang Pegun Dian pun belumlah usai.
---
Dave Lumenta, ahli antropologi dari Universitas Indonesia, juga menyukai fotografi. Saat senggang, ia kerap memainkan musik beraliran rock progresif.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR