Bukan kebetulan bahwa medan perang yang paling sengit berada di Jharkhand dan Chhattisgarh. Kedua negara bagian itu adalah negara bagian paling kaya mineral, memiliki lebih dari 40 persen cadangan batu bara India. Peti harta karun di bawah tanah ini juga mencakup cadangan bijih besi, batu kapur, dolomit, dan bauksit senilai triliunan dolar. Batu bara menjadi bahan bakar pembangkit listrik yang menerangi kota-kota besar India. Baja digunakan untuk mendirikan bangunan modern, kompleks teknologi canggih, kendaraan, dan proyek rekayasa.
Meskipun demikian, kedua negara bagian ini memiliki rekor kekerasan Naxalite terburuk dan tingkat kemiskinan terparah di India.Pada 2010, analisis multidimensional tentang kemiskinan menyatakan, jumlah warga miskin di delapan negara bagian di India, termasuk Jharkhand dan Chhattisgarh, lebih besar daripada gabungan 26 negara termiskin Afrika.
Alih-alih mempersempit jurang ketimpangan antara warga kaya dan miskin, kekayaan mineral malah memperparah kesenjangan tersebut. Muncul masalah lain berupa polusi, kekerasan, dan pemindahan paksa masyarakat yang harus berjuang keras menjalani kehidupan terkungkung di negara bagian itu. Lembah Karanpura di Jharkhand utara mencerminkan situasi tersebut.Dahulu, daerah tersebut terkenal dengan habitat harimau dan merupakan rute migrasi gajah. Sekarang, dipenuhi lubang kawah batu bara. Awalnya ladang batu bara dipetakan pada 1800-an, lalu hak penambangannya didapatkan oleh Central Coalfields Limited (CCL), anak perusahaan lokal Coal India Limited (CIL) milik negara, pada pertengahan 1980-an.
!break!Selama puluhan tahun, CCL menawarkan beraneka kompensasi kepada penduduk setempat—pekerjaan, uang, permukiman, perumahan alternatif—sebagai imbalan atas tanah dan kepergian mereka dari kampung halaman.Banyak yang menerima pembayaran itu, menyerahkan tanah mereka, dan pergi. Sementara bagi yang lain, iming-iming uang tak begitu menarik. Sejumlah besar bertahan saat rumah yang diselimuti debu mulai hancur dan retak akibat ledakan dinamit tambang.
Kelompok Naxalite sudah lama terbentuk di daerah itu, didorong perasaan tak puas dan diabaikan. Sebulan sebelum kunjungan pertama saya ke sana, sekelompok besar Maois bersenjata lengkap menyerang tambang Ashoka di lembah itu, membakar truk dan jip perusahaan sebelum berhasil diusir dalam baku tembak dengan polisi setempat.
“Tanah kami adalah segalanya” ujar aktivis muda lokal di desa Henjda, saat ledakan dinamit lain membahana di udara. “Tujuh puluh lima persen warga desa kami menolak menyerahkan tanah mereka ke CCL. Mereka menawarkan uang sebagai kompensasi. Mereka menawarkan pekerjaan di ladang batu bara: satu pekerjaan untuk setiap 0,8 hektare tanah. Namun, tak satu pun dari tawaran itu cukup.Uang bisa habis.Pekerjaan bisa berakhir.Selain itu, beberapa keluarga terdiri atas sembilan orang, hidupnya tergantung pada lahan pertanian empat hektare. Jadi, kami tak mau pindah.”
Seperti di daerah tambang batu bara di sejumlah pedesaan lainnya, masyarakat setempat terbagi antara yang ingin mempertahankan rumahnya dan menolak penambangan, dan mereka yang bekerja sebagai agen tanah mewakili CCL, yang bertugas membujuk masyarakat untuk menjual tanah mereka. Kelompok Maois mudah mengeksploitasi situasi ini.Perkelahian sering terjadi antara kedua golongan masyarakat dan grafiti di dinding retak memperkeruh keadaan.
“Agen CCL, silakan ambil tanah kami, tukar dengan kepalamu,” itulah salah satu ancaman yang terbaca. Ketika saya kembali ke Jharkhand dua tahun kemudian dan menanyakan kabar aktivis muda yang pernah saya kenal, saya mendapatkan informasi bahwa dia telah meninggalkan aktivitasnya, lelah oleh ancaman pembunuhan dan gangguan polisi. Teman-temannya mengatakan dia sudah punya pekerjaan baru—di CCL.
!break!
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR