Akhir yang sama parahnya dapat menimpa Danau Turkana, menghancurkan mata pencarian ribuan kaum nelayan, menjadikan mereka pengungsi putus asa. Dalam kasus terburuk, kata Avery, perkebunan tebu dan kapas terus tumbuh, dan selama bertahun-tahun sungai menyusut, akibatnya danau itu turun 18 meter atau lebih.
Pemerintah Etiopia selalu mengabaikan kritik tentang rencana keseluruhannya di sepanjang Sungai Omo. Beberapa ilmuwan yang diwawancarai untuk artikel ini berkata bahwa hampir tidak ada informasi yang diterbitkan tentang potensi dampaknya. Avery menunjukkan bahwa informasi yang tersedia memperlihatkan bahwa orang Etiopia mengabaikan Danau Turkana. “Semua kajian mereka berhenti di perbatasan,” kata Avery.
Mungkin yang paling meresahkan saat ini adalah kampanye “desa-isasi” pemerintah di Lembah Omo, tempat suku-suku nomad dan gembala dikumpulkan menjadi desa-desa permanen. Pejabat pemerintah menggambarkan kampanye itu bersifat sukarela, tetapi penduduk Omo dan beberapa kelompok HAM mengklaim bahwa kaum tradisional dipaksa masuk ke desa untuk menyediakan tempat bagi tebu dan kapas. Pemerintah Etiopia tidak pernah mau memberi izin kepada wartawan dan penyelidik lain untuk mengunjungi daerah itu.
Pada 2009, ketika saya dan fotografer Randy Olson mengunjungi Gibe III, ketika menggarap artikel tentang Sungai Omo, seorang pejabat Etiopia memberi tahu saya, “Kami ditakdirkan mengembangkan tanah ini. Kami bertugas memanfaatkan sungai ini.”
Rakyatnya juga melihat harapan dari air.
Kata Avery, “Dari satu segi, mereka tidak bisa disalahkan. Banyak bangsa lain yang melakukan hal seperti ini dengan sumber daya alamnya. Tetapi, ini akan sangat merusak.”
!break!Di Kenya, para politikus hampir tak bersuara tentang rencana Etiopia, meskipun perkiraan konsekuensinya meresahkan dan kelompok akar rumput riuh memprotes. Menurut Kepala Suku Moroto, rakyat marah dan berunjuk rasa kecil-kecilan di sepanjang pantai danau, bahkan jauh ke utara hingga desanya. Tetapi, tidak ada hasilnya. Para pejabat yang saya wawancarai di sekitar Danau Turkana biasanya tidak mau berkomentar, katanya takut pada konsekuensi politik. Namun, kebenaran tampaknya gamblang. Kadang-kadang muncul dalam bentuk keluhan pribadi, angkat bahu kecewa, atau permintaan tolong. Kadang dalam pernyataan blak-blakan.
Pada suatu malam di Ileret saya berbincang dengan seorang polisi tentang keamanan. Kaum militan Islam dari Somalia telah melancarkan serangan di seberang perbatasan di timur laut. Saya bertanya apakah dia merasa aman di wilayah Kenya ini. Polisi itu, yang orang selatan, meludahkan segumpal khat dan menaikkan jari. “Teman,” katanya, “lihatlah sekeliling Anda. Ini bukan Kenya. Bukan, bukan, bukan.”
Belakangan, dukun tua itu, Nyemeto, mengatakan hal serupa. “Dia mana itu Kenya?” tanyanya. “Saya tidak pernah ke sana.”
!break!Di dataran pasir di luar Selicho, Abdul Razik berada di antara kedua pendapat ini. “Daerah ini tidak berarti apa-apa bagi orang di selatan,” katanya. “Mereka tidak tahu tentang kehidupan di sini, dan mereka tidak peduli apa yang terjadi pada orang-orang ini.”
Dia berdiri di dalam bayangan truk es yang besar. Air lelehan mengucur berkilauan dari dasar truk, dan anak-anak menari-nari di bawahnya, telanjang selain satu-dua untai manik-manik.
Truk itu milik teman Razik, yang berharap dapat mengisinya dengan ikan Lates niloticus. Nelayan membawakan tangkapan mereka, dan beberapa bercerita bahwa mereka berharap dapat mencontoh Razik, menghasilkan lebih banyak uang dalam sekali jalan daripada yang pernah dilihat kerabat dan tetangga. Mimpi itu tidak terjangkau oleh sebagian besar mereka.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR