Nationalgeographic.co.id—Tim interdisipliner yang terdiri dari ahli ekologi, biologi dan fisikawan baru-baru ini melakukan penelitian komprehensif mengenai lepidoptera (Ordo yang mencakup ngengat dan kupu-kupu) yang memiliki sayap transparan.
Seperti diketahui, kupu-kupu dan ngengat memiliki sayap yang indah, seperti kupu-kupu raja dengan warna oranye cerahnya, kupu-kupu ekor layang-layang yang memiliki garis-garis cerah atau hijau cerah ngengat layang-layang.
Namun, kita jarang memperhatikan, beberapa kupu-kupu dan ngengat mengepak dengan sayap yang dramatis. Bagian dari sayap, atau dalam beberapa kasus seluruh sayapnya sebenarnya transparan.
Hal itulah yang membuat tim tersebut tertarik untuk melakukan penelitian terhadap transparansi yang dimiliki beberapa jenis kupu-kupu dan ngengat. Hasil penelitian tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal Ecological Monographs dari Ecological Society of America pada 7 Juli 2021.
Doris Gomez, seorang ahli ekologi yang mempelajari sifat fisik warna pelangi dan aspek ekologi sayap burung kolibri dan warna burung lainnya, mulai tertarik melakukan penelitian tersebut ketika dia bertemu Marianne Elias dari Center National de la Recherche Scientifique. Elias adalah seorang ahli biologi evolusioner yang sedang meneliti ekologi dan evolusi kupu-kupu tropis Itomiini yang memiliki sayap transparan.
Gomez terkejut, bahwa hampir tidak ada penelitian tentang transparansi yang dimiliki Lepidoptera dan hewan darat lainnya.
Penelitian tersebut dianggap terobosan, karena selama ini kemampuan transparansi makhluk hidup lebih banyak dipelajari dari organisme air.
"Transparansi sangat jarang dari kehidupan teresterial atau organisme darat. Sehingga orang tidak keberatan mempelajarinya secara komprehensif," kata Gomez dalam press release di laman The Ecological Society of America pada 12 Juli 2021.
Baca Juga: Ilmuwan Menemukan Bagaimana Sayap Transparan Kupu-kupu Ini Bekerja
Menurut Gomez, fisikawan berharap untuk memahami tentang bagaimana mengadaptasi konsep biologis untuk membuat manusia, kendaraan, dan bahkan struktur lainnya menjadi tidak terlihat atau transparan seperti pada sayap kupu-kupu.
Dari penelitian tersebut, mereka mengatahui transparansi tersebut telah berkembang beberapa kali di ordo Lepidoptera, dan ada banyak cara membuatnya menjadi transparan.
Dia dan timnya menganalisis 123 spesies Lepidoptera dari sampel koleksi Museum Sejarah Alam Prancis. Mereka menemukan transparansi, atau spesies sayap bening di 31 dari 124 famili.
Namun, tidak semua spesies mencapai transparansi dengan cara yang sama. Mereka menyelidi bagaimana transparansi mempengaruhi termoregulasi -yang berkaitan dengan kemampuan hewan mempertahankan suhu tubuhnya dan memberikan perlindungan terhadap radiasi UV.
Banyak serangga, termasuk lebah, lalat dan capung, memiliki sayap yang berbeda. Sayap mereka terbuat dari membran transparan yang terbuat dari kitin.
Kupu-kupu dan sayap ngengat terbuat dari jenis membran transparan yang sama, tetapi dalam kebanyakan kasus ngengat dan kupu-kupu memiliki sisik buram yang menutupi membran. Sisik yang membuat sayapnya memiliki pola dan warnanya menarik.
Baca Juga: Cantiknya Lebah 'Pelangi' Australia, Terbang Sampai Indonesia
Peneliti menemukan bahwa ada beberapa cara untuk menjadikan sayap kupu-kupu transparan. Beberapa ngengat dan kupu-kupu transparan tidak memiliki sisik pada sayapnya dan membran kitin. Banyak spesies lain memiliki sisik, menjadi transparan, tegak lurus, tipis, dengan sayap ringan.
Elias mengatakan, bahwa penelitian tersebut adalah analisis komparatif pertama dari sayap kupu-kupu transparan. "Perlu dicatat, bahwa transparansi telah berevolusi beberapa kali secara independen," katanya.
Namun, Elias mengaku belum mengerti mengapa keragaman tersebut bisa terjadi. Dalam beberapa kasus, cara yang berbeda mengarah pada tingkat transparansi yang sama. Membuat peneliti masih bertanya-tanya.
Baca Juga: DARI EDITOR: Kiamat Serangga dalam Linimasa Perkembangan Kota
Source | : | sciencedaily,The Ecological Society of America |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR