Dia dikeluarkan dari sekolah akibat kehamilannya, dan itu “sangat menyakitkan,” ujarnya. Dia mencintai sekolah. Dia tidak pernah mengira dirinya akan menjadi salah satu remaja hamil di Sierra Leone. Kemudian Ebola mulai mewabah di Freetown pada 2014, dan pemerintah menutup sekolah-sekolah untuk membatasi epidemi. Ketika itulah, pada 2015, dia dihamili oleh pacarnya, Alhassan. “Selama wabah Ebola,” ujarnya, “ada banyak anak perempuan yang hamil. Tidak ada sekolah saat itu, jadi kami punya banyak waktu luang.”
“Saya merasa semua orang kecewa kepada saya. Saya malu,” kata Regina. “Beberapa teman sekolah saya mengatakan bahwa saya bukan contoh bagus untuk mereka.” Musim semi dihabiskannya di rumah tanpa mengerjakan apa-apa dan bertemu siapa-siapa, sementara teman-temannya bersekolah. Beberapa bulan kemudian, salah seorang bibinya memberitahunya tentang pusat pendidikan baru yang memberikan kesempatan bagi anak perempuan hamil dan ibu berusia sekolah, untuk mengejar ketinggalan pendidikan agar mereka bisa kembali ke sekolah. Regina segera menyambut peluang itu dan memberi tahu semua teman sebayanya yang hamil atau telah melahirkan tentang tempat itu.
Dia sudah menguasai sebagian besar materi yang diajarkan, namun dia mendambakan untuk kembali ke kelas, duduk di bangku kayu dengan buku pelajaran dan buku catatan di depannya, membaca, mendengarkan, dan berpikir. Saat ini memang ada janin di dalam rahimnya, tetapi dia masih mempunyai pikiran, dan hal itu adalah segalanya baginya.
Dia belajar di pusat pendidikan selama tiga bulan, menjadi salah satu dari 180 anak perempuan yang menghabiskan waktu di sana selama tahun pertama program. Dia kembali ke sekolah umum setelah melahirkan Aminata pada Desember 2015. Kini, Regina memperingatkan semua teman perempuannya untuk berhati-hati saat berdekatan dengan laki-laki agar hal yang sama tidak menimpa mereka.
Dia bukan lagi remaja putus sekolah. “Saya tak ingin anak saya memiliki pengalaman yang sama. Saya menginginkan masa depan yang lebih baik untuknya,” kata Regina. Dia kini hidup bersama kekasihnya, yang menjadi sarjana ekonomi, serta ibu dan nenek pemuda itu, yang membantunya merawat Aminata. Dia berharap mereka bisa membangun keluarga bersama dan menyadari bahwa menyelesaikan pendidikan adalah hal penting. Dia ingin bekerja untuk organisasi yang membantu anak-anak, terutama anak perempuan, untuk mendapatkan kehidupan lebih baik.
“Kalau saya berpendidikan, saya akan bisa mengurus keluarga saya; saya akan bisa mengurus diri saya,” ujarnya.
Salmatu Fofanah tinggal di lereng bukit di Mountain Cut, kota tetangga Freetown yang berpenduduk padat. Salmatu, 17, pemalu dan manis. Dia sudah terbiasa mengurus dirinya sendiri. Dua tahun silam ibu dan ayah tirinya tertular Ebola. Ayah tirinya jatuh sakit setelah menghadiri pemakaman pada 2014. (Ayah kandungnya tewas akibat malaria pada 2011.)
Ibu Salmatu, perawat, merawat suaminya di rumah. Mereka tidak tahu bahwa penyakit Ebola tengah mewabah. Karena kondisi suaminya semakin buruk, ibu Salmatu membawanya ke rumah sakit, tetapi dia meninggal di mobil.
Ibu Salmatu jatuh sakit beberapa hari kemudian dan meninggal di rumah satu bulan kemudian. Salmatu pun mulai merasa sakit. Dia menderita sakit kepala dan demam, begitu pula bibi, paman, kakak perempuan, adik lelaki, kakek, dan beberapa sepupunya.
“Kami semua ketakutan,” kata Salmatu. Mereka semua memeriksakan diri ke pusat perawatan. Hanya dia dan ketiga sepupunya yang selamat, sementara yang lainnya tewas.
Pada awal Desember 2014 dia kembali, untuk tinggal bersama bibi, paman, dan sepupu lainnya di sebuah rumah yang lengang di Mountain Cut. Kapan pun dia merasa sakit, dia dilanda kepanikan. Ketika dia kembali ke sekolah pada bulan Maret, dia khawatir teman-temannya akan mengucilkannya karena Ebola. Namun, dia terkejut.
“Saya sama sekali tidak diberi stigma,” katanya. Setiap kali pikirannya melayang ke kehidupan sebelum Ebola mewabah, teman-temannya berusaha menghiburnya. Salmatu memakai Facebook dan WhatsApp untuk mencari lelucon, agar bisa tertawa lagi, dan dia pun merasa lebih baik setelah banyak tidur. Dia mengikuti kelompok konseling agar bisa membicarakan masalah-masalahnya. Ketika saya menemuinya, ujian akhir adalah kekhawatiran terbesarnya. “Anda harus berdamai dengan masa lalu dan berfokus ke masa depan. Anda harus bahagia dengan apa yang Anda miliki.”
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR