Setiap kali menyinggahi Bangkok, saya selalu teringat akan Jakarta. Lalu lintas yang padat dan mobilitas warga yang tinggi membuat saya rindu pada Ibu Kota. Bangkok termasuk salah satu destinasi dengan kaum pendatang paling masif di Asia Tenggara. Pusat peradaban bangsa Thai ini menjadi eksotis di mata para pelancong karena mampu memadukan berbagai elemen budaya. Semua itu tersaji apik. Terbelah oleh Chao Praya—sungai yang berujung di Teluk Thailand—Bangkok mewujud sebagai salah satu pusat ekonomi dunia. Di sisi lain, pengelola kota begitu teguh mempertahankan warisan budaya leluhur. Lalu, mereka menyulapnya menjadi sebuah magnet bagi turis.
Usai melewati malam panjang, saya terkesiap. Pagi hampir meninggi. Saya melesat dari penginapan di daerah Silom. Tepian Chao Praya menjadi tujuan. Wat Arun telah menunggu. Inilah salah satu lambang kemegahan Bangkok yang sukar saya lewatkan. Seraya menunggu bergeser ke arah barat, saya memutuskan untuk berkeliling kompleks Wat Arun. Dengan begini, saya dapat menyelami keseharian para biksu. Mengenakan jubah kuning, pendeta Buddha menjalani kehidupan yang bersahaja.
Nama Bangkok merupakan versi pendek dari nama asli ibu kota Thailand: Krung Thep Mahanakhon Amon Rattanakosin Mahinthara Yuthaya Mahadilok Phop Noppharat Ratchathani Burirom Udomratchaniwet Mahasathan Amon Piman Awatan Sathit Sakkathattiya Witsanukam Prasit. Inilah nama ibu kota terpanjang di dunia versi Guiness Book of Records.
Nama Wat Arun diadopsi dari salah satu dewa dari mitologi India yang bernama Aruna. Nama tersebut diambil karena cahaya surya pertama yang memantul di permukaan kuil yang terlihat sangat memukau. Perguruan yang mengelilingi Wat Arun sudah berdiri sejak lama, bahkan ketika Ayutthaya masih menjadi ibu kota Thailand. Pada waktu itu kuil ini bernama Wat Mokok.
Awalnya, Wat Arun berdiri tepat di seberang lokasinya sekarang. Dulu kuil ini terletak di tempat yang sama dengan kompleks istana. Raja Rama I memindahkannya ke seberang sungai dan menelantarkannya. Raja Rama II melakukan restorasi dan menambahkan pagodanya hingga setinggi 70 meter. Fitur Wat Arun yang menjadi penanda utama adalah menara stupa yang dikenal sebagai Phrang.Menara ini mencakar langit biru seolah ingin menunjukan lapisan kerang-kerang laut yang dikeringkan dan berbagai potongan keramik. Pada setiap sudutnya, dikelilingi oleh menara-menara yang lebih kecil. Langkah-langkah kecil saya ayunkan saat menapaki anak tangga di setiap menara kecil. Memuncaki Phrang membutuhkan konsentrasi tersendiri. Semakin tinggi melangkah undakan pun kian menyempit dan curam. Peluh yang bercucuran tersapu saat mata saya menangkap panorama indah Bangkok. Tuntas!
Dari puncak Wat Arun saya bisa melihat megahnya Grand Palace, destinasi saya berikutnya. Boleh jadi tempat ini telah umum dalam agenda kunjungan pejalan, tetapi saya tak berkecil hati. Sebab Grand Palace menyajikan sejarah Thai pada masa lalu. Saya mematuhi aturan kunjungan. Di sini, pejalan harus menggunakan celana panjang saat memasuki area yang mulai dibangun pada 1782. Karena saya mengenakan celana pendek, akhirnya saya menghampiri tempat penyewaan celana panjang. Saya tak berkeberatan akan hal ini. Sebab menghormati peraturan lokal merupakan salah satu poin penting yang dilandaskan oleh perspektif geowisata. Dengan mengikuti aturan dan norma setempat, kita telah memberikan apresiasi terhadap kebudayaan yang berkembang di tempat tersebut.
Setelah Grand Palace, penguasa membangun Temple of the Emerald Buddha atau yang biasa dikenal sebagai Wat Phra Kaew, yang dikhususkan sebagai tempat pemujaan. Pada masa awal Bangkok resmi sebagai ibu kota, Emerald Buddha kerap dibawa keluar untuk diarak keliling kota. Patung itu diarak dengan tujuan untuk melepaskan warga dari wabah penyakit. Setelah kepemimpinan Raja Rama IV prosesi ini dihentikan. Raja Rama IV menegaskan, penyakit disebabkan oleh virus dan kuman, bukan disebabkan oleh kutukan dan arwah jahat. Emerald Buddha dikenakan pakaian yang berbeda-beda, sesuai masanya. Dalam setahun, patung itu berganti pakaian dua kali. Pada musim panas, Emerald Buddha disematkan mahkota emas dan perhiasan. Pada musim dingin, Emerald Buddha diselimuti jubah yang terbuat dari emas. Bangkok memang telah memikat hati saya. Budaya dan modernitas berpadu apik. Panorama keemasaan dari mentari yang tenggelam melengkapi perjalanan kecil ini. Sinarnya begitu memukau mata!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR