Hari-hari ini, dalam wawasan Sandaman, ebeg sedang dalam gempuran zaman. “Ya, karena banyak hiburan yang lebih murah, seperti dangdut dan orjen tunggal. Pada masa sekarang, ebeg saya yang pasti hanya pentas sekali setahun untuk mengiringi sedekah laut. Selebihnya tidak pasti, karena memang rombongan ebeg juga banyak sekali, sih. Satu kelurahan bisa ada dua sampai tiga kelompok,” papar Sandaman yang tahun ini sempat pentas tiga kali.
Matahari terus bergeser ke barat. Selepas zuhur, Kasirin kembali ke medan pentas. Suara cemetinya sekali lagi menusuk telinga. Para penari, dengan wajah-wajah berias tebal, kembali ke ajang pergelaran. Pada babak kedua ini, mereka mementaskan tarian pedang. Ini tari kreasi baru. Penonton makin padat memagari lapangan. Babak kedua inilah yang ditunggu-tunggu pemirsa. Alunan musik dan tetembangan kian membahana.
Pada detik-detik terakhir, Kasirin berada di antara pejoget. Dalam detik-detik yang secepat kilat, lambaian tangan Kasirin menyentakkan aura gaib. Para pemain ebeg tersungkur. Ambruk! Atribut tarian rontok. Sebagian pejoget mencampakkan kuda lumping, sebagian yang lain makin memegang erat. Para wayang indang.
Kisruh! Kisruh!
Wayang kocar-kacir. Sejumlah penonton menghambur ke pentas. Mereka berebut barongan; menari dengan tatapan mata yang beku; mulut komat-kamit menguyah udara. Tubuh-tubuh menegang. Dalam khazanah ebeg, momen ini disebut janturan.
“Setelah diizinkan penimbul, penonton yang indang bisa ikut pentas. Kalau tidak, ia tidak akan masuk kalangan. Karena sudah indang, ia bisa saja kesurupan. Sebenarnya penonton ikut indang hanya ingin menghormati pementasan.”
Inilah momen yang ‘tak-kasatmata’ bergabung dalam pergelaran. Manjing dalam wadag para wayang, yang liyan turut menari seirama musik. Atmosfer terasa ganjil: sorot mata nyalang, nyaris tanpa kedipan. Gerak tubuh penari tak lagi manusiawi.
Indang merasuki wayang dan beberapa penonton. Kendati di bawah kendali indang, tubuh-tubuh itu menari selaras irama gending.
Sejumlah penonton di sudut lapangan rupanya sontak kesurupan. Suasana di luar kendali. Kasirin menuturkan penonton yang telah punya indang bisa saja tertular kesurupan.
Indang merasuki wayang dan beberapa penonton. Kendati di bawah kendali indang, tubuh-tubuh itu menari selaras irama gending. Bahkan tarian para wayang lebih bertenaga. Seorang di antaranya menjoget lemah gemulai bak perempuan kenes.
Indang menyelimuti tubuh seorang wayang bernama Dwi Putra Nugroho. Sayangnya, indang menyusup tak sempurna. Kasirin bersama pendampingnya kelabakan. Para penimbul membungkusnya dengan selimut barongan. Penonton melihat kejadian itu dengan tatapan penuh tanya. Suasana mencekam mengapung di udara.
LIR ILIR, lir-ilir, tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo, tak sengguh pengantin anyar
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR