Selama tiga tahun, program terpadu Citarum telah mewariskan peluang bagi pihak-pihak lain dalam upaya pemulihan sungai terpanjang di Jawa Barat ini.
Jembatan Batujajar bergetar keras saat berbagai kendaraan melintas dan menderu. Di bawah jembatan itu, menghampar perlakuan manusia terhadap Sungai Citarum: tumpukan sampah gosong yang menguarkan bau kebakaran.
Berbagai remah sampah memang telah lenyap di telan api. Namun hal itu tidak memusnahkan jejak peradaban yang dalam mencampakkan sungai terpanjang di Jawa Barat itu.Di bawah jembatan itu, debit Citarum surut jauh, yang hanya mengaliri seperempat lebar sungai. Air yang tinggal sedikit itu pun tak pantas dilihat: berwarna hitam dengan bau busuk. Sementara itu, bagian sungai yang mengering, tanahnya retak-retak.
Keseimbangan telah meninggalkan Citarum. Saat kemarau, airnya surut; saat hujan, airnya berlimpah ruah. Citarum tersudut di dua titik ekstrem, antara kebanjiran dan kekeringan. “Menurut versi kita, Citarum merupakan DAS yang diprioritaskan untuk dipulihkan. Artinya, memang berpredikat buruk,” ungkap Junaediyono, dari Balai Pengelolaan DAS Citarum dan Ciliwung.
Rumitnya masalah di Daerah Aliran Sungai Citarum menuntut penanganan yang terpadu. Artinya, tak ada institusi tunggal yang bisa menepuk dada mampu membenahi tantangan yang melingkupi aliran Citarum. Sayangnya, untuk mengaitkan satu institusi dengan institusi yang lain juga tidak mudah. Yang sering terjadi adalah bentrok kepentingan.
Selama ini, Junaediyono menuturkan, Balai Pengelolaan DAS Citarum dan Ciliwung memiliki pengalaman dalam merancang rencana pengelolaan DAS terpadu Citarum—dan Ciliwung. Untuk meningkatkan daya dukungnya, pengelolaan DAS Citarum berdasarkan Rencana Pengelolaa DAS terpadu dan menjadi acuan rencana pembangunan sektor dan pembangunan wilayah.
Untuk itu, Balai Pengelolaan DAS memfasilitasi pemerintah daerah dan pihak-pihak lain duduk bersama untuk berdiskusi dan berkoordinasi dalam mengembangkan rencana pengelolaan terpadu DAS Citarum. Institusi itu macam-macam: ada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah, Bappeda, Dinas Kehutanan, dan pihak-pihak lain yang punya kepentingan dan kewenangan di DAS Citarum.
Peran Balai Pengelolaan DAS adalah mewadahi inisiatif, kegiatan ataupun program dari instansi lain, yang dituangkan dalam rencana pengelolaan DAS terpadu itu. Dengan begitu, dalam dokumen rencana pengelolaan tercantum rincian program sesuai tugas dan wewenang institusi masing-masing.
Pendek kata, Balai Pengelolaan DAS berperan dalam fasilitasi, perencanaan dan evaluasi. Sementara pelaksana rencana pengelolaan DAS adalah lembaga terkait—semisal dinas-dinas pemerintah daerah, pemangku kawasan hutan, kalangan swasta maupun masyarakat. Pendek kata, ujar Junaediyono, rencana pengelolaan DAS terpadu melibatkan semua unsur dan lintas-kabupaten.
Sayangnya, tidak mudah memegang komitmen institusi yang menjadi pelaksana kegiatan dalam rencana pengelolaan DAS. “Dokumen rencana pengelolaan memang selesai, dan pihak-pihak terkait menandatanganinya. Namun aplikasinya belum tentu terjadi,” ungkapnya.
Junaediyono menamsilkan: “Seandainya yang direncanakan 100, yang akan dilaksanakan tidak akan sebesar itu.” Dia memaparkan tantangan yang dihadapi dalam menjalankan rencana pengelolaan terjadi hampir di semua tataran. “Di tataran ekskutif atau pemerintah daerah diperlukan anggaran. Dan itu belum tentu gol di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Bahkan di lembaga legislatif daerah, tantangan jauh lebih besar. “Karena belum tentu bisa menerjemahkan program dan memahami nilai penting upaya pengelolaan DAS.”
Kendati begitu, BPDAS menggelar programquick win(capaian segera) untuk menangani pemulihan Citarum.“Kami menyebutnya program quick win, namun sebenarnya bentuknya upaya rehabilitasi hutan dan lahan,” lanjutnya. Bentuknya di lapangan berupa upaya-upaya pengendalian erosi, sedimentasi dan banjir. “Ada galian plat, sumur resapan dan agroforestry untuk pemberdayaan masyarakat.”Hakikatnya: konservasi tanah dan air. Upaya itu seturut Rencana Pengelolaan DAS terpadu yangmenjadi acuan rencana pembangunan sektor dan pembangunan wilayah.!break!
Melihat pembelajaran dari program CWMBC, Junaediyono menyarankan agar ke depan dukungan hibah digunakan untuk mengelola konflik sosial di DAS Citarum. Dukungan pendanaan jangka panjang akan memungkinkan konflik sosial lebih terkelola, sehingga upaya pemulihan Citarum berjalan efektif. Setakat ini, anggaran pemerintah yang berjangka pendek tak akan efektif dalam mengurai konflik sosial. Alhasil, ungkap Junaediyono, kendala dalam program-program DAS Citarum lebih banyak bersifat nonteknis.
Dia memandang bahwa daerah aliran sungai bagaikan sehamparan medan penuh konflik kepentingan. Bentuk aneka kepentingan itu mewujud dalam tata guna lahan yang macam-macam, dengan status lahan yang berlainan pula. “Sehingga, daerah aliran sungai lebih merupakan hamparan konflik kepentingan. Di Citarum hulu misalnya, konflik sosialnya terasa lebih kental. Konfliknya luar biasa. Dan itu menjadi masalah nonteknis yang kami hadapi,” lanjut Junaediyono.
Berbagai kepentingan itulah, menurut Project Manager CWMBC Cherryta Yunia yang menyebabkan berbagai upaya di Citarum terkesan tidak signifikan. “Ada yang bilang sudah terlalu banyak proyek di Citarum, tapi hasilnyatidak signifikan. Bukan tidak signifikan sebenarnya, tetapi memang setiap stakeholder berjalan sendiri-sendiri,”
Cherryta menegaskan bahwa Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP) adalah program terpadu. “Sayangnya, memang belum terpadu betul. Kalau ingin bagus, mesti terpadu,” ungkap Cherryta. Dia mengingatkan bahwa selama program CWMBC misalnya, masih ada pihak-pihak lain yang belum terlibat.
Dia mencontohkan Kementerian Perindustrian. Di DAS Citarum terdapattak kurang 1.500 pabrik yang membuang limbah ke anak sungai ataupun Sungai Citarum. Pabrik sebanyak itu menyokong 20 persen produksi industri nasional dan 60 persen produksi tekstil Jawa Barat. “Pabrik-pabrik tekstil itulah yang membuang limbah. Itu jelas mencemari, yang sayangnyakementerian terkait belum terlibat dalam proyek ini.”
Pada tahap-tahap selanjutnya,Cherryta menyarankan, program ICWRMIP selayaknya menggandeng pihak-pihak yang selama ini belum terlibat.“Kalau ada tahap selanjutnya, harus diubah polanya. Program haruslebih terpadu di tingkat stakeholder. Mengajak semua pihak terkait terlibat langsung, sehingga semuanya bergabung dalam satu program. Jadi, ada sub-komponen yang melibatkan pemerintah daerah dan kementerian lain yang terkait.”
Program CWMBC telah meletakkan fondasi bagi pengelolaan kawasan konservasi dalam konteks pengelolaan DAS Citarum yang lestari.Kiprah empat komponen memberikan kebaruan data, informasi dan pengetahuan di kawasan konservasi. Dari perkembangan itu, Kepala Balai Besar KSDA Jawa Barat Sylvana Ratina berharap adanya sumbangsih bagi rencana pengelolaan di tujuh kawasan konservasi yang tercakup dalam DAS Citarum.
Sylvana menuturkan, selama ini Balai Besar KSDA Jawa Baratkekurangan data dasar yang berguna dalam menentukan arahpengelolaan kawasan. Dari hasil kajian Komponen 1 memang telah tersaji data-data dasar tentang habitat, persebaran, spesies prioritas. Datapotensi keanekaragaman hayati itu juga terpetakan dan terintegrasi dalam sistem informasi. Dari data dasar itu, dia menyatakan, “Nantinya diharapkan ada dokumen rencana pengelolaan kawasan konservasi. Sehingga, BBKSDA Jawa Barat bisa melakukan pengamatan, monitoring dan pengawasan. Itulah yang menjadi tugas kami.”
Di masa depan, BBKSDA Jawa Barat akan lebih mengembangkan Model Desa Konservasi di sekitar kawasan konservasi. Selama program CWMBC, upaya Komponen 4 telah berhasil mengembangkan MDK di sepuluh desa.
“Sepuluh MDK ini sifatnya model. Artinya, percontohan dan kita akan mengembangkan MDK di desa-desa lain, dengan fasilitator yang terampil yang mampu menciptakan kader konservasi,” imbuhnya.
Setelah CWMBC tuntas, Sylvana menegaskan, “Kita akan mengantarkan MDK ke kabupaten setempat. Kita telah punya MoU dengan empat kabupaten yang ada kegiatan MDK. Kita sudah menunjukkan kepedulian denganpengembangan ekonomi alternatif untuk menggeser mata pencaharian masyarakat agar tidak tergantung pada kawasan konservasi.”
Sejak awal program CWMBC, untuk pengembangan MDK, Balai Besar KSDA Jawa Baratmenjalin kesepahaman (MoU) dengan empat pemerintahan kabupaten: Sumedang, Bandung Barat, Subang, dan Purwakarta. Inti kesepahaman: pengembangan model desa konservasi akan dikawal selama 5 tahun. Selama kurun itu, diharapkan MDK telah mampu mandiri. Untuk tiga tahun pertama, Balai Besar KSDA Jawa Barat akan mengawal MDK dengan dukungan dana CWMBC, dan dua tahun sisanya bakal dilanjutkan oleh pemerintah daerah dengan anggaran APBD.
Setelah program selesai, Sylvana memaparkan, saatnyapemerintah daerah mengambil peran dalam pengembangan MDK agar kawasan konservasi tetap aman. “Supaya masyarakat tidak lagi mencari nafkah di hutan, namun tetap peduli terhadap kawasan konservasi.Dengan demikian, hubungan timbal balik antara kelestarian kawasan konservasi dan pengembangan ekonomi alternatif tetap terawat.”
Salah satu sumbangsih program CWMBC adalahModel Desa Konservasi, yangberkaitan erat dengan pengembangan wilayah pedesaan. Selama pengembangan MDK, akhirnya, dirasakan perlu untuk memfasilitasi penyusunan rencana induk atau masterplanMDK.Kini, telah tersusun rencana induk MDK di 13 desa yang bermanfaat sebagai rujukan bagi kegiatan di desa.!break!
Dokumen ini berisirencana kegiatan pembangunandesa yang berkaitan dengan pengelolaan DAS Citarum dan kawasan konservasi.Kelak, seiring diterapkannya Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, rencana induk itu diharapkan dapat menjadi bagian Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes).
Rencana induk itu sebagai wujud komitmen jangka panjang dalam pengembangan MDK. Penyusunan rencana induk bisa dipandang sebagai peningkatan kapasitas masyarakat desa dalam merespon undang-undang desa yang mensyaratkan adanya RPJM desa. Pendek kata, di akhir program CWMBC, rencana induk MDK mulai terintegrasi ke dalam konteks pembangunan desa.
Program pengembangan MDK juga mengajak kelompok untuk merancang tata ruang desa. Rencana tata ruang desa untuk menyelaraskan pembangunan desa dengan kawasan hutan. Selama ini, disadari kawasan konservasi rentanterhadap perkembangan pembangunan yang tidak diimbangidengan perencanaan tata ruang perdesaan. Alhasil, pembangunan desa menjadi tidak beraturan yang akanmengganggu kemantapan kawasan konservasi.
Dengan demikian, RPJM desa sangat berkaitan dengan rencana tata ruang desa. Sementara pada tataran yang lebih tinggi, tata ruang desa harus sejalan RTRW kabupaten. Dan, RTRW kabupaten bisa disahkan, jika sejalan dengan tata ruang Kehutanan.
Dengan penalaran seperti itu, rencana tata ruang desa tidak bakal bertubrukan dengan tata kawasan hutan. (Misalnya saja, pengembangan pertanian di wilayah desa tidak akan dilakukan di kawasan hutan—sehingga mencegah perambahan hutan.)Di sisi lain, pembangunan desa yang seturut kaidah konservasi akan mendorong Balai Besar KSDA Jawa Barat membangkitkan personel di lapangan memfasilitasi dan mengajak masyarakat menjaga kawasan konservasi.
Kini, upaya CWMBC berada di ujung waktu. Menyadari hasil penting CWMBC, Balai Besar KSDA Jawa Barat mempersiapkan exit strategy atau strategi pengakhiran program. Upaya-upaya yang telah dilakukan dalam program CWMBC telah menggalang modal sosial di desa-desa MDK. Modal sosial inilah yang mesti dirawat dan ditingkatkan.
Ketua tim Sekretariat PelaksanaCWMBCM. Yusuf Indrabrata menyatakan pada tahun pertama program, Balai Besar KSDA Jawa Barattelah menjalin kesepahaman (MoU) dengan empat kabupaten: Bandung, Purwakarta, Sumedang dan Subang. “Itu sebagai dasar hukum kegiatan MDK di 12 desa, yang mendapatkan bantuan program,” kata Yusuf, yang juga kepala bagian Tata Usaha Balai Besar KSDA Jawa Barat. “Pada tahun terakhir, skemanya kita sengaja mengajak para pihak untuk membahas exit strategy. Tujuannya untuk mendukung keberhasilan program CWMBC.”
Artinya, keberhasilan program bisa dipelihara dan dipertahankan oleh pihak terkait, sambil tetap berupaya memperbaiki kekurangan program. Untuk menjaga keberlanjutan, pihak-pihak terkait diharapkan memanfaat capaian program CWMBC sesuai tugas dan tanggung jawabnya. Tentu saja, ungkap Yusuf, tanpa tergantung dari pihak luar, baik hibah maupun bentuk pendanaan yang lain. Tujuan dari strategi pengakhiran program untuk memastikan keberlanjutan dampak kegiatan setelah program tuntas.
Untuk itulah, Balai Besar KSDA Jawa Barat menggelar forum pembahasan strategi pengakhiran program dengan menggandeng SKPD kabupaten dan provinsi, kalangan swasta dan pihak-pihak lain. Forum ini untuk wadah curah pendapat bagi saran dan masukan pengakhiran program. “Kami mengharapkan masukan para pihak untuk keberlanjutan program. Ini program tahun ketiga atau yang terakhir, yang selayaknya tidak asing bagi instansi SKPD dan pihak lain yang relevan,” papar Yusuf, sembari mengingatkan adanya MoU dengan bupati setempat.
Bahkan, sejak awal mula, pada 2013, CWMBC telah menggelar lokakarya MDK di tingkat Provinsi Jawa Barat. Mengusung tema “Integrasi Pengelolaan Hulu DAS Citarum melalui Program Model Desa Konservasi”, lokakarya untuk memaparkan rencana induk setiap desa, yang lantas dipadukan dengan program pembangunan daerah. Dengan paparan dan integrasi program itu, pemerintah daerah, utamanya lembaga pemberdayaan masyarakat desa, diharapkan memberikan dukungan penuh terhadap MDK.
Forum lokakarya juga merupakan tahapan dari desain pengembangan MDK yang mengacu rancangan BBKSDA Jawa Barat. Rancangan itu telah disetujui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Desain ini merupakan lokus pemberdayaan masyarakat yang bersinergi dengan pihak-pihak lain untuk meningkatkan ekonomi rakyat sembari menjaga kawasan konservasi.
Untuk keberlanjutan program ke depan Balai Besar KSDA Jawa Barat merekomendasikan pelibatan pemerintah daerah dalam Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Program (ICWRMIP). “Jika dilanjutkan, sebaiknya melibatkan pemerintah daerah dalam perancangan dan pelaksanaan proyek secara konkrit.”!break!
Balai Besar KSDA Jawa Barat telah menyiapkan tiga tahap pengakhiran program. Yang pertama fase pengurangan (phase down) bagi dukungan secara perlahan-lahan. “Artinya, sedikit demi sedikit kita kurangi, sambil tetap menjaga keberhasilan program.” Tahap pengurangan program ini memanfaatkan sumber daya dan organisasi setempat untuk mempertahankan dan melanjutkan program bersamaan dengan berjalannya sebagian program. Fase ini sekaligus persiapan bagi fase selanjutnya.
Sebelum benar-benar berakhir, tim Komponen 4 mengembangkan jaringan dan forum kemitraan usaha dengan para pihak bagi kelompok MDK. Selama 2015, Komponen 4 melakukan pendampingan bagi pengembangan forum kemitraan untuk kelompok MDK—terutama di Cihanjawar dan Pasanggrahan. Dengan memperluas jaringan, diharapkan kelompok MDK mampu mandiri dan bermitra dengan para pihak.
Fasilitator desa Cihanjawar Iis Rohati memaparkan, “Kita sudah membawa kelompok MDK ke dinas-dinas untuk menginformasikan berbagai usaha dan pemberdayaan masyarakat. Kelompok sudah ke Dinas Peternakan dan Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta.”
Selama masa transisi itu, Balai Besar KSDA Jawa Barat masih melakukan monitoring dan pendampingan. Selama fase pengurangan, Balai Besar KSDA Jawa Barat berfokus pada peningkatan kapasitas, utamanya institusi lokal dan masyarakat.
Fase yang kedua (phase out), lanjut Yusuf, “Kita menghentikan sama sekali dukungan program dengan melihat adanya perubahan positif yang terjadi. Lalu fase yang terakhir, phase over,kita mengalihkan kegiatan ke institusi lokal. Bila sudah siap, secara mandiri lembaga lokal bisa melanjutkan capaian dan keberhasilan program.”
Dalam forum diskusi exit strategy itu terungkap masukan dan kritik dari berbagai pihak. Saran ini menunjukkan adanya sambutan baik terhadap kiprah CWMBC, terutama yang terkait dengan pembangunan desa. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa Jawa Barat misalnya mengapresiasi program MDK sebagai peluang untuk pembangunan desa yang ramah lingkungan. Dengan melanjutkan kegiatan MDK akan mempermudah pendanaan, dan lebih efektif. Desa-desa dengan kelompok MDK bisa mengembangkan ekonomi yang berbasis lingkungan, mengingat CWMBC telah meletakkan fondasi ekonomi alternatif.
Di sisi lain, Balai Besar KSDA Jawa Barat diharapkan menindaklanjuti kesepahaman dengan para bupati yang telah dilakukan pada awal program. Tindak lanjut ini penting untuk diteruskan ke institusi pemerintah daerah yang terkait. Tanpa upaya itu, memorandum kesepahaman itu tidak akan menjamin keberlanjutan kegiatan yang telah dirintis oleh program CWMBC. Di Kabupaten Bandung misalnya. Program PNMP Mandiri yang mampu memberikan sumbangsih positif, akhirnya diadopsi pemerintah Bandung untuk pembangunan daerah.
Sumbangan pemikiran juga diberikan oleh pihak swasta yang berkecimpung di DAS Citarum. Salah satunya adalah saran perlunya memadukan CWMBC dengan program lain di Citarum. Selain untuk mencegah kegiatanberbagai pihak berjalan sendiri-sendiri, integrasi program juga akan memperbesar dampak positif dari seluruh upaya pemulihan Citarum.
Aspek lain adalah konservasi keanekaragaman hayati. Kalangan swasta yang akan menerapkan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) memerlukan data keanekaragaman hayati. Ini untuk menentukan bentuk sumbangsih bagi konservasi spesies yang langka dan terancam. Dengan pendekatan ekologi lanskap, sejumlah kalangan juga menyarankan untuk menautkan upaya konservasi di tujuh kawasan konservasi yang tercakup dalam CWMBC dengan kawasan hutan yang lainnya.
Seluruh kegiatan program CWMBC telah tuntas dengan meninggalkan keberhasilan dan kekurangan. Fondasi inilah yang menciptakan peluang bagi peningkatan dan perbaikan dari pihak-pihak lain. Kendati menghadapi tantangan dan kendala, program selama tiga tahun ini makin menegaskan tuntutan untuk bergerak secara serentak dan terpadu.
Kala Terbunuhnya De Bordes oleh Depresi, Jadi 'Sejarah Kecil' di Hindia Belanda
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR