Kita dapat dengan mudah menuju tiap-tiap titik wisata di Kota Perth, sebenarnya. Jarak dari satu tempat ke lokasi lainnya terbilang berdekatan, dan kalau pun mesti menyisir arah agak menjauh dari pusat kota, janganlah khawatir, kita bisa menggunakan akses transportasi yang rute-rute perjalanannya terjadwal secara teratur. Beberapa fasilitas di antaranya tidak berbayar, CAT atau Central Area Transit Bus contohnya.
Pagi ini kami mengunjungi Perth Mint, sebuah rumah pengolahan emas tertua di kota, hanya dengan 5 menit berjalan kaki dari hotel tempat menginap. Situs bersejarah di kawasan Hay Street ini didirikan pada 1899 demi menunjang usaha-usaha pertambangan emas yang pesat berkembang hampir di seluruh daerah Western Australia, dan terpusat di beberapa titik penting, sebut saja di antaranya Coolgardie dan Kaargolie, di samping Banington yang masih berfungsi hingga sekarang.
Selama bertahun-tahun Perth Mint mengolah hasil tambang emas menjadi aneka rupa produksinya, termasuk tentu saja, mata uang koin yang koleksinya masih dapat kita saksikan di dalamnya.Berbeda dengan usaha serupa di Sydney dan Melbourne yang telah tutup, Perth Mint kini didedikasikan sebagai sebuah museum yang merekam jejak euforia tambang emas (gold rush) di benua Australia.
Richard sang pemandu mengajak kami menyelusup ke masa silam kejayaan era tambang emas tersebut. “Dibandingkan dengan negara bagian lain, penemuan emas di Western Australia terbilang lebih muda. Namun, bukan berarti bahwa temuan-temuan emas kami tidak ada artinya,” ujarnya sambil menunjukan salah satu replika bongkahan emas seberat 15,7 kg bernama Fly Flat. “Ini ditemukan di Coolgardie tahun 1892 dan mengawali era gold rush di sini, yang terus menyebar ke daerah-daerah sekitar,” lanjutnya.
Namun, era kemakmuran itu ternyata memiliki sisi paradoksnya.Bagaikan dua sisi mata uang, kekayaan selalu bersisian dengan penindasan, sebagaimana yang tersebutkan dalam sejarah pertambangan emas di benua Australia.“Mari saya tunjukan kepada Anda sebuah video yang menjelaskan hal tersebut,” ujar Richard saat kami tiba di bagian khusus multimedia Perth Mint.
Euforia tambang emas memikat banyak orang dari lain benua untuk berlayar merantau, berlomba-lomba menjelajah seluruh tanah Australia demi menemukan nugget alias bongkahan-bongkahan emas untuk dijual kepada pemerintah kolonial. Haus harta mendorong munculnya peminggiran tehadap penduduk suku setempat, yang tidak jarang berujung pada pembunuhan dan pemusnahan perkampungan. Pencurian dan aksi perampokan kian marak, khususnya menimpa rombongan penambang yang baru pulang—mereka menghabiskan dua minggu di pertambangan dan hanya kembali ke kota selama satu minggu berikutnya untuk beristirahat.
Ya, tidak pernah ada harga yang murah untuk meraih kekayaan berlimpah-limpah.!break!
Beranjak dari Perth Mint, kami menumpang bus menuju The Bell Tower, salah satu bangunan ikonik kota ini.
Baik, ini merupakan lokasi wajib yang harus dikunjungi. Jangan sampai terlewat untuk naik ke puncak menara dan membunyikan lonceng-loncengnya yang bersejarah.
Lonceng bersejarah? Benar, dalam histori budaya manusia, menara lonceng atau bell tower merupakan titik penting bagi penanda hidup masyarakatnya. Ia merupakan penunjuk waktu sekaligus ikon sebuah kota. Di Kota Perth, Bell Tower berkembang menjadi atraksi wisata dan museum yang menyimpan koleksi lonceng bahkan sejak tahun 1550. Belakangan The Bell Tower direnovasi dengan menghasilkan arsitektur kini yang menawan.
Gerry dan Tina mempertemukan kami dengan 18 lonceng tua dari aneka masa sejarah Kota Perth. Masing-masing memiliki berat yang berbeda, pun dibuat pada angka tahun yang tidak sama.
“Ada kiat khusus untuk membunyikan lonceng, apalagi yang seberat ratusan kilogram seperti yang ada di menara ini,” jelas Tina, relawan The Bell Tower.“Tariklah sekuat tenaga, jangan lupa untuk mempercepat gerakan Anda bila ingin menghasilkan nada pendek, dan sebaliknya untuk nada panjang,” ujarnya seraya memperagakan, dan oh, alih-alih berhasil membuat tempo bunyi lonceng yang cepat atau lambat, Tina malah kesulitan untuk menarik tali-tali lonceng tersebut.
Kami semua tertawa. Pun demikian dengan Tina. Masing-masing dari kami mencoba membunyikan lonceng bersama-sama selama beberapa menit, sampai Gerry menghentikan kami.
“Kelihatannya menyenangkan di sini, ya. Tetapi, kita harus naik ke puncak menara. Akan ada kejutan lagi,” ujar Gerry sambil menapak anak tangga. “Dan orang-orang di bawah sana, di piazza sana, pasti kebingungan mendengarkan suara lonceng buatan kalian. Suaranya berbaur tak beraturan, hahaha…,” lanjutnya jenaka dan memancing tawa kami sekali lagi.
Semakin berat lonceng—yang paling berat di antaranya adalah 1.480 kilogram—maka suaranya akan semakin rendah alias bass. Andai kami berhasil mengenali karakter seluruh lonceng, termasuk cara-cara memainkannya, mungkin kami akan mampu membuat suatu orkestra lonceng yang cukup merdu untuk didengar. Melagukan nyanyian rakyat Nusantara, barangkali….
Namun, tidak semua lonceng ternyata mampu menghasilkan bunyi. Satu di antaranya disebut lonceng bisu, karena tidak akan berdentang kendati sekuat apapun kita menarik talinya.
“Sejumlah 12 lonceng yang ada di sini didatangkan dari St. Martin Church di London pada tahun 1988. Tidak ada kegiatan khusus untuk membunyikan lonceng-lonceng tersebut. Syaratnya hanya jika ada jumlah pengunjung yang cukup saja,” ujar Gerry saat kami tiba di selasar puncak menara, yang menampilkan pemandangan puitik Kota Perth: lekukan Sungai Swan yang elok di kejauhan, lintasan jalanan menuju gedung-gedung pencakar langit, dan Elizabeth Quay yang diterpa kemilau cahaya matahari.
Sementara kami terpana menyaksikan panorama tersebut, terdengar suara lonceng bel penanda waktu.Nadanya sangat kami kenal, Jingle Bells. Jelas bukan messy bells, lantunan lonceng yang baru saja kami mainkan….
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR