Nationalgeographic.co.id - Awal pagebluk COVID-19 masuk Indonesia 2020 lalu, banyak pihak di negeri ini yang menyepelekan dampak serangan virus SARS-Cov-2. Bahkan, dosen Universitas Indonesia Ade Armando mengatakan untuk tidak merespons berlebihan akan virus Corona.
"Kalau saya kena virus Corona, ya saya sakit," ia berpendapat di kanal YouTube CokroTV, 5 Maret tahun lalu. "Tapi ya sakit yang biasa-biasa saja. Paling meriang, demam, batuk-batuk, sesak napas, pilek kali ya. Ya kaya gitulah. No big deal. Kata anak sekarang: santuy aja."
Tidak heran, beberapa kasus dari pasien yang terpapar COVID19 memang ada yang kondisinya sakit ringan, dan ada pula yang sakit keras. Hal itu membuat para ahli bertanya-tanya sejak awal pagebluk, bagaimana bisa ada perbedaan kondisi yang kontras.
Sebuah studi baru di jurnal Cell, para ilmuwan menunjukkan adanya perbedaan dalam paparan di tempat bertarung awal virus dengan tubuh kita. Lokasi pertama yang terjadi antara SARS-CoV-2 terletak di hidung dan tenggorokan pasien.
"Mengapa beberapa orang menjadi lebih sakit daripada yang lain telah menjadi salah satu aspek yang paling membingungkan dari virus ini sejak awal," kata José Ordovás-Montañés, peneliti Ph.D dari Boston Children's Hospital yang terlibat dalam penelitian.
"Banyak penelitian yang mencari prediktor risiko telah mencari tanda-tanda di dalam darah, tetapi darah mungkin bukan tempat yang tepat untuk dilihat," ujarnya, dikutip dari Medical Xpress.
Hasil dari makalah yang baru diterima pada Rabu (14/07/2021) itu telah mencoba mengidentifikasi sel-sel yang rentan terhadap virus.
Identifikasi ini melibatkan tim kolaborasi di Boston Children's Hospital, MIT, dan the University of Mississippi Medical Center secara komperhensif, untuk memetakan infeksi virus di nasofaring--saluran pernapasan dari hidung menuju tenggorokan.
Para ilmuwan memperoleh hasil sampel tes usap hidung dari 35 orang dewasa yang terinfeksi COVID-19 dari April hingga September 2020. Para pasien ini memiliki beberapa gejala, mulai dari yang ringan hingga sakit kritis.
Selain itu juga para ilmuwan mendapatkan hasil tes usap dari 17 subjek kontrol dan enam pasien yang diintubasi, tetapi tidak terpapar COVID-19.
Baca Juga: WHO Desak Indonesia Terapkan 'Lockdown' yang Lebih Ketat dan Luas
Ordovás-Montañés dan tim menggali lebih lanjut gambaran rinci tentang apa yang terjadi di nasofaring dengan mengurutkan RNA di setiap selnya.
Data RNA itu memungkinkan mereka mengurutkan secara tepat sel mana yang mengandung RNA yang berasal dari virus, dan gen mana dalam sel-sel itu hidup maupun mati sebagai respon infeksi.
Hasilnya sangat jelas, bahwa sel-sel epitel yang di sekitar hidung dan tenggorokan ternyata mengalami perubahan yang besar saat terjangkit virus. Sel-sel ini secara jenis keseluruhannya menjadi berkembang.
Para ilmuwan menulis, ada peningkatan yang terjadi akibat sel sektretori dan goblet penghasil lendir. Sel sektrotori adalah struktur sekresi khusus yang mengeluarkan senyawa-senyawa tertentu. Sedangkan goblet berperan di dalam tubuh kita untuk membatasi pergerakan dan perlekatan dari patogen asing.
Ketika virus menyerang, sel-sel bersilia yang matang yang bertugas untuk menyapu saluran udara, mengalami penurunan secara jumlah. Tetapi terjadi peningkatan pada sel-sel bersilia yang belum matang, yang diasumsikan bahwa tubuh mencoba untuk mengimbangi kekurangan itu.
Ordovás-Montañés bersama timnya juga menemukan RNA SARS-CoV-2 pada beberapa jenis sel, termasuk sel bersilia yang belum matang, subtipe spesifik dari sel skuamosa, dan sel skuamosa (sel yang membentuk lapisan tengah dan luar kulit).
Baca Juga: Ajakan 'Stop Baca Berita COVID-19' Justru Mengancam Keselamatan Publik
Pada sel yang terinfeksi ini memiliki lebih banyak gen yang diaktifkan yang terlibat dalam respons untuk menghadapi infeksi, yang membuat tubuh kita merasa sakit.
Lantas, apa yang membedakan antara sakit ringan dengan yang kronis pada pasien?
Dalam laporannya, mereka menjabarkan orang yang sakit COVID-19 ringan atau sedang, sel epitelnya mengalami peningkatan aktivasi gen yang terlibat untuk melawan virus. Rangsangan yang dialami sel terutama terjadi oleh interferon tipe I, yakni alarm bagi sistem kekebalan tubuh kita untuk bekerja lebih menyeluruh.
Sedangkan pada orang yang sakit kronis, mereka membutuhkan ventilasi mekanis karena tumpulnya respon untuk melawan virus. Secara spesifik, sel-sel epitel mereka begitu rendah untuk 'membunyikan lonceng peringatan' interferon.
Sel-sel epitel pasien kronis tetap kurang bekerja meski sudah dipenuhi banyak virus. Pada saat yang sama, dalam tes usap mereka telah meningkatkan jumlah makrofag dan sel kekebalan lainnya yang meningkatkan respon inflamasi.
Makrofag adalah sel fagosit terpenting dalam sistem kekebalan tubuh yang berasal dari sel monosit dewasa. Respon inflamasi sendiri merupakan reaksi yang berguna untuk melindungi jaringan yang mengalami kerusakan agar tidak mengalami infeksi, dan meluas tanpa terkendali.
Baca Juga: Alfa hingga Delta: Bagaimana Bisa Virus Corona Memiliki Banyak Varian?
"Setiap orang dengan COVID-19 yang parah memiliki respons interferon yang tumpul sejak dini di sel epitel mereka, dan tidak pernah mampu meningkatkan pertahanan," Ordovás-Montañés menjelaskan.
"Memiliki jumlah interferon yang tepat pada waktu yang tepat dapat menjadi inti dari penanganan SARS-CoV-2 dan virus lainnya."
Tetapi penelitian yang dilakukan barulah menyelidiki pasien awal pagebluk. Ordovás-Montañés menjelaskan, ia ingin menyelidik lebih lanjut pa yang menyebabkan interfereon yang diredam di nasofaring, yang menurut beberapa bukti dapat terjadi dengan varian baru Corona.
"Kemungkinan, terlepas dari alasannya, orang dengan respons interferon yang tidak aktif akan rentan terhadap infeksi di masa mendatang selain COVID-19," kata Ordovás-Montañés.
"Pertanyaannya adalah, 'Bagaimana Anda membuat sel-sel ini lebih responsif?'" tambahnya untuk mengajak para ilmuwan lain di luar sana untuk mencari jawabannya.
Baca Juga: Tiongkok Tolak Rencana WHO untuk Selidiki Lagi Asal-Usul COVID-19
Source | : | Medical Xpresss |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR