Untuk mengetahui rahasia racun, Kingdon dan rekan-rekan mengamati tikus berjambil di alam bebas. Mereka mengambil rambut yang tumbuh di punggung hewan. Peneliti juga membandingkan bahan-bahan kimia di rambut dengan Acokanthera schimperi, tanaman yang biasa dikunyah tikus.
Ternyata, agar bulunya beracun, tikus berukuran rata-rata 36 sentimeter itu mengunyah kulit pohon A. schimperi lalu menjilati dirinya sendiri agar racun yang terkumpul di ludahnya menempel di rambut. Perilaku ini sudah tertanam di otak, sama seperti perilaku burung yang membuang bulunya yang lepas atau kucing yang mandi dengan menjilati tubuhnya.
Rambut pada tikus itu sendiri memiliki struktur khusus yang mampu menyerap racun. Lapisan luar rambut itu penuh dengan lubang besar dan di dalamnya banyak serat yang mampu mengikat cairan. “Sepanjang ilmu pengetahuan, tidak ada rambut lain yang memiliki struktur seperti milik hewan ini,” kata Kingdon.
Tidak diketahui mengapa tikus itu tidak mati karena mengunyah racun dari tanaman tersebut. “Tikus itu harusnya langsung mati setiap kali mereka mengunyah kulit A. schimperi, tetapi ternyata tidak,” kata Kingdon.
Para peneliti menyebutkan bahwa mempelajari racun yang dikunyah tikus itu mungkin dapat membantu pengobatan pada manusia. Sebelumnya, bahan kimia serupa, disebut digitoxin, telah digunakan sebagai pengobatan untuk kegagalan jantung. Penelitian ini sendiri dipublikasikan di jurnal Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. (Sumber: Livescience)
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Deliusno |
KOMENTAR