Kebudayaan tradisional tidak dapat memiliki hak cipta tertentu. Cara untuk melindungi budaya tradisional tak lain dengan mengonsumsinya, mempraktikannya sebagai bagian kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian gabungan para ahli hukum dan antropolog dari American University, University of North Carolina, New York University, beserta sejumlah ahli hukum, pakar media, etnomusikolog, aktivis masyarakat adat dari Indonesia mengenai kebudayaan tradisional dan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) disimpulkan bahwa, kita tidak dapat menaruh konsep-konsep HaKI global begitu saja bagi kebudayaan tradisional di Indonesia.
Pasalnya, dalam HaKI secara khusus hak cipta, diatur kalau pemegang hak cipta harus individu, sedangkan hasil karya budaya tradisional, misalnya kesenian, sifatnya kolektif.
Problem lain adalah, klaim hak cipta ini menimbulkan batasan-batasan. Padahal unsur kebudayaan tradisional adalah bersifat terbuka. "Dari penelitian lapangan, masyarakat Indonesia selalu open dalam berbagi seputar budayanya. Mereka mengganggap orang yang memakai kebudayaan milik mereka sebagai penghargaan, kehormatan tersendiri," tutur Ignatius Haryanto, salah seorang peneliti.
Dan, untuk hampir sebagian besar golongan masyarakat itu, tambahnya, kehormatan dilihat lebih penting daripada nilai ekonomi semata.
Selain itu, dijabarkan beberapa inisiatif lainnya untuk mendorong eksistensi kesenian tradisional; seperti melibatkan media untuk memberi proporsi liputan lebih besar terhadap seni tradisional, memperkuat kurikulum pendidikan seni, hingga membangun lembaga adat. "Lembaga adat memainkan peranan penting, juga berada dalam posisi perantara efektif dalam perselisihan antarpihak dalam komunitas sehubungan penggunaan materi-materi tradisional secara pantas."
Meski demikian, penelitian pula menyebutkan, perlu ada aturan legal bagi kebudayaan tradisional. Namun daripada meniru doktrin HaKI konvensional, dengan mencoba menjadikan semua manifestasi seni tradisional obyek kepemilikan di bawah satu tangan, pendekatan alternatif hendaknya berupa perlindungan yang bekerja dari bawah ke atas (bottom up).
"Intinya lebih digerakkan oleh masalah nyata ketimbang mengandalkan konsep, atau mengantisipasi masalah-masalah yang masih hipotetis," katanya.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR