Nationalgeographic.co.id—Insinyur listrik Ural Federal University (UrFU) telah mengembangkan teknologi desalinasi baru yang lebih murah dan sederhana. Teknologi tersebut akan secara signifikan mengurangi biaya desalinasi dan empat kali volume produksi. Hasil penelitian tersebut dipublikasikan dalam jurnal Case Studies in Thermal Engineering.
Desalinasi adalah proses menghilangkan kadar garam berlebih dalam air untuk mendapatkan air yang dapat dikonsumsi. Umumnya, teknologi desalinasi digunakan untuk mendapatkan air bersih dari air laut atau air payau. Sebagai hasil sampingan, proses ini juga akan menghasilkan garam dapur.
Teknologi desalinasi terus dikembangkan karena ada banyak negara di dunia yang menderita kekurangan pasokan air tawar. Karena faktanya, meski 75 persen planet kita tertutup oleh air, faktanya, 98 persen dari itu berada di laut dan samudera, yang terlalu asin untuk dapat dikonsumsi.
Salah satu proses desalinasi yang paling populer dan sederhana digunakan saat ini adalah penyulingan air dengan bantuan energi matahari. Ilmuwan UrFU bersama dengan rekan-rekannya dari Irak, telah mengembangkan teknologi hibrid untuk meningkatkan efisiensi penguapan di dalam penyuling surya melalui silinder berongga yang berputar dan mengumpulkan energi matahari.
"Kami menciptakan teknologi desalinasi dengan menggunakan silinder berongga yang berputar di dalam penyuling surya untuk mempercepat penguapan air di wadah dengan membentuk lapisan tipis air di permukaan luar dan dalam silinder, yang terus diperbarui setiap putaran. Untuk meningkatkan suhu air di bawah silinder kami menggunakan pengumpul panas surya," kata kepala departemen pembangkit listrik tenaga nuklir dan sumber energi terbarukan UrFU Sergei Shcheklein, dilansir dari UrFU web-site.
Sebagai bagian dari eksperimen, kecepatan putara silinder di dalam penyuling surya adalah 0,5 rpm, satuan yang digunakan untuk menyatakan kecepatan perputaran mesin. Uji eksperimental tersebut dilakukan di Ekaterinburg, Rusia pada bulan Juni hingga Oktober 2019 dan perangkat yang dikembangkan menunjukan efisiensi dan reliability tinggi.
Baca Juga: Hadapi Air Memanas, Nelayan Alaska Mulai Pertanian Regeneratif di Laut
Selain itu, para peneliti mencatat bahwa intensitas radiasi matahari yang relatif tinggi dan suhu udara sekitar yang rendah juga berkontribusi pada kinerja penyulingan air. Faktor peningkatan kinerja penyuling surya yang dibuat, dibandingkan dengan perangkat tradisional yang ada saat ini.
"Setidaknya (meningkat) 280 persen di bulan-bulan yang relatif panas, yaitu Juni, Juli dan Agustus. Dan setidaknya meningkat 300 persen hingga 400 persen di bulan-bulan yang relatif dingin, yaitu September dan oktober," kata Alharbawi Naseer Tawfik Alwan, seorang insinyur riset di UrFU dan karyawan Northern Technical University (Irak).
Ia mengungkapkan, pada saat yang sama, kapasitas penyulingan air kumulatif dari perangkat yang dikembangkan mencapai 12,5 liter per meter kubik per hari di musim panas. Dan mencapai 3,5 liter per meter kubik per hari di musim dingin.
Baca Juga: Berikhtiar Merawat Benteng Kehidupan
Menurut peneliti, teknologi desalinasi yang dikembangkan dengan desain sederhana dan biaya rendah dapat menarik di Timur Tengah dan Afrika. Wilayah tersebut memiliki potensi energi surya yang tinggi dan kekurangan air tawar yang dapat dikonsumsi.
Seperti diketahui, di beberapa negara pesisir di Timur Tengah dan Afrika, saat ini banyak yang memanfaatkan air laut sebagai sumber air utama mereka. Namun, teknologi tersebut cukup mahal dan hanya negara-negara pesisir yang kaya yang dapat melakukannya, seperti negara-negara teluk Arab.
Belakangan, beberapa penelitian desalinasi air laut mulai mengarah ke peningkatkan efektifitas dan mengurangi biaya teknologi desalinasi agar dapat lebih murah dan terjangkau. Sehingga teknologi tersebut dapat dimanfaatkan lebih luas dan tidak hanya dimiliki oleh negara-negara kaya.
Oleh karena itu, selanjutnya, para ilmuwan terus berencana untuk meningkatkan teknologi dan kinerja penyuling surya dengan biaya modal dan operasi serendah mungkin untuk kondisi iklim yang berbeda.
Baca Juga: Gunung Api Purba yang Menuntaskan Dahaga
Source | : | Sciencedirect,Ural Federal University |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR