Naik ojek 11 kilometer hanya untuk satu menit percakapan telepon, berjalan kaki hingga tiga kilometer hanya agar bisa mengirim pesan singkat (SMS), dan tiap malam hidup dengan lampu sumbu yang disebut pelita. Itu adalah kehidupan Saktiana Dwi Astuti, gadis berjilbab berusia 24 tahun saat menjadi relawan guru di SD 19 Limboro, Majene, Sulawesi Barat, mulai dari November 2010 hingga November 2011.
Selama setahun, Sakti yang lulusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia, menjadi relawan guru di bawah yayasan Indonesia Mengajar. Mengapa ia mau 'menderita' seperti itu hanya untuk menjadi guru di daerah terpencil? "Waktu kuliah, salah satu biaya berasal dari subsidi dan dari kebaikan masyarakat. Saya ingin mengabdi, mengembalikan satu satu utang, melunasi janji mencerdaskan kehidupan bangsa," kata Sakti ketika ditemui dalam acara Secangkir Semangat Selangit Harapan di Jakarta, Kamis (15/12).
Sakti mengisahkan jika menjadi relawan guru tidaklah mudah. Seleksi dilakukan sebanyak lima tahap dan bersaing dengan 1380 anak muda lainnya. Sakti akhirnya terpilih bersama 50 relawan dan langsung mendapat penempatan di Majene.
Rintangan berikutnya adalah izin orang tua. Awalnya mereka tidak rela karena Sakti tengah menjalani tes menjadi CPNS di Departemen Keuangan. Namun, tekad kuat membuat Sakti melawan tangis sang Ibu dan berangkat ke Majene.
Kaget, adalah kata tepat yang disampaikannya ketika melihat desa tempatnya mengajar. "Wow, ada ya banyak orang yang tinggal di tengah gunung, tempat saya tinggal itu dikelilingi gunung. Hari pertama masuk, banyak guru yang tidak hadir. Ada delapan PNS dan empat honorer tapi cuma dua yang hadir mengajar," kata gadis yang bercita-cita jadi wartawan itu.
Saat akhirnya mengajar, Sakti kembali harus beradaptasi dengan perbedaan bahasa. Anak didikannya menggunakan bahasa Mandar dan tidak paham bahasa Indonesia, sedangkan Sakti kebalikannya. "Saya lama-lama belajar bahasa Mandar, tapi saya bersyukur di sana bisa masuk tayangan sinetron, karena yang biasanya nonton sinetron bisa bahasa Indonesia," kata Sakti lalu tertawa.
Masalah lain yang dihadapi Sakti adalah banyaknya siswa yang tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Bahkan ada salah satu muridnya yang sudah naik ke kelas 6 SD tapi belum bisa membaca. "Dia sudah dua tahun tinggal kelas, dulu bisa naik kelas karena ada hubungan saudara dengan guru lain. Dan masalahnya kalau dia tidak naik kelas lagi, dia tidak mau sekolah lagi."
Setahun pengalaman melihat mirisnya pendidikan Indonesia membuat Sakti makin tergerak untuk membantu desa-desa terpencil. Karena, kata Sakti, anak-anak di desa sangat bersemangat dan tidak mau berhenti belajar. "Saat belajar Ilmu Alam membahas soal ular, mereka mencari ular untuk ditunjukkan pada saya."
"Akses dan fasilitas sangat minim di sana. Maka ketika saya kembali ke sini (Jakarta) saya merasa bersyukur bisa lahir dan mendapat pendidikan yang baik. Sedangkan mereka terus berjuang untuk mimpi-mimpi mereka," ujar Sakti yang kini berhenti mengajar dan mencoba kerja di bidang media.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR