Budayawan Goenawan Muhamad mendapat penghargaan Hamengku Buwono IX Award dalam perayaan puncak Dies Natalis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ke-62 yang jatuh pada 19 Desember 2011.
Sastrawan, jurnalis, yang juga budayawan, Goenawan Mohamad, usai mendapat penghargaan memberikan orasi budaya di Pagelaran Keraton Yogyakarta dengan mengangkat judul 'Metafor dan Metamorfosis, Membaca Kembali Malangsumirang'.
Dalam orasinya, pria yang akrab disapa GM itu mengajak masyarakat untuk kembali mengingat naskah tua Malangsumirang yang konon ditulis oleh Sunan Panggung. Goenawan pun menggunakan Babad Jaka Tingkir untuk menggambarkan bagaimana pendahulu bangsa ini meramalkan tentang sebuah perubahan.
Dikaitkan dengan konteks masa kini, naskah tersebut sangat relevan. Menurut Goenawan, masa kini adalah masa ketika hukum, kaidah, akidah, serta bahasa saling bergulat tiada henti. Bahkan tanpa disadari mempengaruhi identitas bangsa Indonesia. Dalam orasinya, Goenawan ingin agar seluruh masyarakat Indonesia peka terhadap perubahan yang terjadi.
Keberadaan metafor atau bahasa, lanjut Goenawan, menjadi hal penting untuk menyikapi perubahan yang terjadi. Metafor bukan hanya bentuk semantik melainkan cara dasar bergaul dengan realitas.
Sementara itu, Sri Sultan HB X dalam sambutan yang dibacakan oleh GBPH Prabukusumo mengatakan orasi budaya tersebut mengingatkan penguasa negeri ini. Orasi yang menggunakan idiom Jawa ini hendaknya menjadi refleksi bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk membangun peradaban.
Sri Sultan HB X pun menilai jika predikat pujangga yang dilekatkan di belakang nama Goenawan Mohamad tidak berlebihan. Istilah pujangga, meskipun berbeda makna dengan kata cendekiawan, baik dalam kualitas dan fungsinya, keduanya memikul kewajiban dan tanggung jawab yang sama untuk membangun kebudayaan.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR