Untuk menghentikan peredaran kayu ilegal, Indonesia menerapkan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Untuk melihat penerapan SVLK, Menteri Pembangunan Internasional Inggris Andrew Mitchell bersama Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, mengunjungi kawasan hutan dan industri PT Balikpapan Forest Industries, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
“Kita tunjukkan kayu yang bersertifikat kayu legal. Kita undang mereka untuk melihat sendiri. Kelebihannya ada, kekurangannya juga ada. Kita jelaskan secara transparan dan terbuka kepada sahabat kita,” jelas Zulkifli.
Mitchell menuturkan, Inggris dan Indonesia adalah dua negara yang bersahabat. Kunjungannya ini untuk melihat berbagai upaya dalam sektor kehutanan. “Hutan Indonesia bukan hanya milik nasional, tapi juga dunia, sehingga harus dikelola secara lestari,” katanya.
Kerjasama bidang kehutanan antara Inggris dengan Indonesia telah berlangsung sejak 1986. Inggris juga salah satu negara Uni Eropa yang mendukung penerapan SVLK. Pada 2002, sebagai lanjutan dari Konferensi Tingkat Menteri mengenai forest law enforcement and governance (FLEG), Inggris dan Indonesia menandatangani kerjasama bagi penegakan hukum dalam memerangi pembalakan liar dan perdagangannya. Kemudian pada 2007 ditandatangani pula kerjasama untuk pengembangan SVLK sampai 2010.
Mitchell, didampingi Duta Besar Inggris Mark Canning, bersama Zulkifli sempat melihat kayu bulat berdiameter 1 meter yang ditempeli kode batang (barcode) berwarna biru. Barcode dari Kementerian Kehutanan itu sebagai tanda kayu berasal dari perusahaan yang telah memiliki sertifikat SVLK.
“Jika barcode dipindai, akan terlihat jenis kayu, asal-usulnya, serta areal tebangnya,” jelas Listya Kusumawardhani, direktur Bina Iuran Kehutanan dan Peredaran Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan. Listya menambahkan barcode baru bisa diterbitkan setelah perusahaan memenuhi kewajiban yang digariskan dalam tata niaga kayu.
Diah Raharjo, Direktur Multistakeholder Forestry Program (MFP), menyatakan, semua perusahaan kehutanan dan industri wajib memenuhi semua syarat sertifikasi SVLK. “Kini SVLK bersifat wajib. Sampai sekarang sudah ada 157 perusahaan kehutanan yang telah besertifikat SVLK dari sekitar 300 perusahaan yang ada,” lanjut Diah.
Jika tak ada halangan, menurut Diah, pada Maret 2012 akan dilakukan uji pengiriman produk berbahan kayu yang telah bersertifikat ke Uni Eropa. “Kami juga mendorong 27 negara Uni Eropa untuk tidak menerima kayu ilegal.”
Uji pengapalan itu merupakan salah satu rangkaian untuk menyiapkan berlakunya ekspor produk kayu legal pada 2013 secara serentak. Sejak itu, hanya kayu legal yang bisa memasuki pasar Uni Eropa. “Jepang, Australia, dan Amerika Serikat juga sudah mulai membuat peraturan yang sama,” ujar Diah.
“Perusahaan yang mengikuti SVLK akan mendapat keuntungan bisa masuk pasar Uni Eropa dan Jepang. Karena bahan baku kayunya berlabel V-Legal, sehingga asal-usul kayu tidak dipertanyakan lagi,” jelas Zulkifli. (Teks dan foto oleh Oleh Agus Prijono)
Baca juga: Peluang Industri Hutan Rakyat Kan Besar
Gunung Kidul Terpilih jadi Percontohan Sertifikasi Kayu
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR