Nationalgeographic.co.id—Program makan siang bergizi gratis (MBG) yang menjadi salah satu janji kampanye Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka akhirnya resmi dimulai pada Senin (6/1/2024).
Pada hari pertama, program MBG tidak hanya menyasar anak sekolah, tetapi juga anak dibawah lima tahun (balita), ibu hamil, serta ibu menyusui. Terdapat 190 titik yang terbagi dalam 26 provinsi di Indonesia.
Kepala Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia, Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa realisasi program ini dilaksanakan tanpa menunggu 100 hari kerja Pemerintah.
“Ini merupakan tonggak bersejarah untuk bangsa Indonesia, untuk pertama kalinya Indonesia melaksanakan program pemenuhan gizi berskala nasional untuk balita, anak-anak sekolah, santri, ibu hamil, dan menyusui,” ujar Hasan Nasbi dalam keterangan tertulis, Minggu (5/1/2025).
Meski masih menuai kontroversi, baik terkait dengan transparansi dan kualitas-kuantitas menu, program MBG bisa dikatakan masih bisa berjalan tanpa adanya tekanan berarti. Berbeda dengan program makan gratis untuk anak sekolah yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada 1969.
Program tersebut, meski disambut suka cita dan terbukti memperbaiki gizi anak, malah membuat FBI gusar. Sampai-sampai, mereka merasa perlu untuk memeranginya.
Mengapa bisa sampai terjadi seperti itu? Simak kisah lengkapnya berikut ini.
Diinsiasi kelompok radikal
Tahun 1969, di tengah hiruk pikuk gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat, sebuah pemandangan yang tak biasa terhampar di beberapa sekolah. Anak-anak, yang biasanya memulai hari dengan perut keroncongan, kini menikmati sarapan hangat dan bergizi.
Menu lengkap dengan susu cokelat, telur, daging, sereal, dan jeruk segar memenuhi meja makan mereka. Di balik sajian lezat ini, tersembunyi kisah inspiratif tentang sebuah organisasi yang seringkali disalahpahami.
Black Panther Party, yang kala itu dikenal sebagai kelompok radikal dengan citra pemberontak, ternyata memiliki sisi lembut yang tak banyak diketahui publik.
Baca Juga: Sisi Gelap Abraham Lincoln dalam Sejarah AS, Benarkah Sosok Humanis?
KOMENTAR