Adanya sertifikat sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) bagi hutan rakyat di Kabupaten Blora, Jawa Tengah, telah mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki tata usaha kayu. Perbaikan itu menyangkut penyederhaan mata rantai tata usaha kayu yang selama ini lumayan panjang.
“Birokrasi tata usaha kayu di Blora memang agak panjang. Karena, sekitar 48 persen wilayah hutan di Blora berupa hutan produksi kayu jati yang dikelola oleh enam Kesatuan Pemangkuan Hutan Perhutani,” tutur Mashudi, Kepala Bidang Pengendalian, Pengawasan, dan Pengelolaan Hutan, Dinas Kehutanan Blora.
Lantaran hutan rakyat juga menghasilkan kayu jati, menurut Mashudi, untuk membedakannya dari kayu hutan negara dibuat peraturan yang agak ketat. Pada masa lalu, sebelum era Reformasi, pengurusan izin tebang di hutan rakyat sangat rumit dan lama. Akibatnya, “Waktu itu, kami hanya dapat lima puluh persen dari hasil penjualan kayu jati rakyat,” kenang Suryono, Wakil Ketua Gabungan Kelompok Tani Hutan (Gapoktanhut) Jati Mustika. Sisanya, untuk membiayai izin, dan semua inspeksi pejabat dari Perhutani, muspika, dan polisi pembina ke lokasi tebang.
Gapoktanhut Jati Mustika adalah salah satu penerima sertifikat SVLK bersama hutan rakyat dari Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta; Wonosobo, Jawa Tengah; Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara; dan Lampung Tengah; Lampung. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyerahkan sertifikat itu pada November 2011 silam di Pubian, Lampung.
Seiring makin jelasnya peran daerah dalam pengelolaan hutan, sejak tahun 2000 Blora menerbitkan peraturan daerah No. 15 yang mempermudah tata usaha kayu rakyat. “Pengurusan sudah tidak rumit lagi, sudah prorakyat,” lanjut Mashudi.
Dengan adanya hutan rakyat di delapan desa yang telah bersertifikat VLK, tata usaha kayu akan lebih dipermudah. Pemerintah Daerah Blora juga telah menerbitkan Peraturan Daeran No. 4 tahun 2011 yang mengatur tentang pengelolaan hutan rakyat. “Hanya saja perda itu masih makro. Untuk teknis pelaksanaan dan perizinan peredaran kayu rakyat nanti akan ditindaklanjuti dengan peraturan bupati. Itu amanat Perda No. 4,” lanjut Mashudi.
Ke depan, untuk hutan rakyat yang telah bersertifikat SVLK izinnya cukup diterbitkan oleh ketua Gapoktanhut atau kepala desa. “Kami memang sedang membahas peraturan bupati itu, untuk menuju perbaikan tata usaha kayu,” tambah Djoko Sayoga, Kepala Seksi Pengembangan dan Pengendalian Hutan Rakyat, Dinas Kehutanan Blora.
Djoko menuturkan, masih perlu waktu untuk harmonisasi rancangan peraturan bupati, agar tidak berbenturan dengan peraturan yang lain. “Tapi semangatnya ke depan untuk mempermudah izin dan peredaran kayu rakyat.”
Manfaat yang paling dirasakan adanya sertifikat SVLK di Blora adalah perbaikan tata usaha kayu. “Itu manfaat yang paling nyata. SVLK mampu mendorong pemerintah daerah untuk memperbaiki tata kelola kehutanan,” terang Agus Budi Purwanto, pendamping Gapoktanhut Jati Mustika dari ARuPA, Yogyakarta. (Oleh: Agus Prijono).
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR