Permasalahan legalitas kayu telah menjadi perhatian bagi Kementerian Kehutanan. Semua kayu yang ke luar dari hutan, yang diangkut dan diolah harus memiliki sertifikat legalitas kayu. Dwi Sudharto, Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan, menyatakan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) wajib bagi semua, baik hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, maupun hutan desa.
Dalam acara SVLK goes to Campus di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan itu, Edi menegaskan, selain untuk menjamin ketaatan aturan, SVLK juga menyangkut nilai moral. “SVLK juga untuk meningkatkan citra Indonesia, yang dikenal dengan pembalakan liar, menjadi negara yang taat azas,” tegas Dwi yang juga membuka SVLK goes to Campus.
Direktur Indonesia Multistakeholder Forestry Programme, Edi Nugroho menyatakan, SVLK sebagai jaminan ketaatan bagi para pemegang izin pengelolaan hutan dan industri kehutanan. “Meski SVLK merupakan pendekatan sertifikasi, tapi juga pendekatan bertahap bagi hutan lestari,” terangnya.
Edi menegaskan, karena Indonesia sebagai mitra kesepakatan sukarela (VPA) Peraturan Kayu Uni Eropa, maka produk kayu yang masuk Eropa harus legal. “Peraturan ini akan resmi berlaku mulai 3 Maret 2013,” tegasnya.
Rangkaian pertama roadshow SVLK Goes to Campus ini dihadiri berbagai kalangan akademik fakultas kehutanan dari Universitas Indonesia Timur, Universitas Satria dan Universitas Muhammadiyah Makassar. Dekan Fakultas Kehutanan Unhas, Prof. Muh. Restu, bersama Pembantu Dekan III Prof. Supratman, juga menghadiri acara ini.
Antusiasme mahasiswa kehutanan Makassar terlihat dari banyaknya pertanyaan yang diajukan kepada narasumber. Kursi gedung Iptek Unhas hari itu memang penuh. Spektrum pertanyaan begitu luas, mulai dari pihak penilai sertifikasi sampai kemungkinan harga premium bagi kayu yang besertifikat legalitas kayu.
“Sudah dari dulu, bidang kehutanan telah memasuki rezim sertifikasi. Sekarang apapun harus ada sertifikasinya,” terang Rustanto, Direktur Eksekutif Sulawesi Community Foundation (SCF). Rustanto menyatakan, air minum kemasan saja harus ada sertifikat standar nasional Indonesia. Dalam kesempatan itu, Rustanto menjelaskan panjang-lebar tentang dinamika SVLK di Sulawesi Selatan dan sekitarnya.
“Sekarang kita sedang me-review peraturan daerah yang tidak sesuai dengan SVLK. Tata usaha kayu di daerah memang kurang mendukung.”
Rustanto juga berharap para mahasiswa bisa terlibat aktif dalam pemantau independen yang menjadi pihak penting dalam SVLK. “Selain itu, bisa juga menjadi pendamping hutan rakyat dan industri kecil.” Peluang bagi lulusan fakultas kehutanan juga terbuka lebar dengan memasuki dunia sertifikasi. Penerapan SVLK akan banyak memberlukan tenaga auditor sebagai penilai kinerja pengusahaan hutan maupun industri kehutanan.
Dunia kampus diharapkan bisa secara terus-menerus memberi input terhadap sistem verifikasi legalitas kayu dan melakukan kajian dampak SVLK terhadap ekonomi dan ekologi “Begitu juga dengan membantu mengawasi berlakunya SVLK. Saya yakin SVLK bisa berjalan baik dengan dukungan banyak pihak,” harap Dwi.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR