Setahun silam, National Geographic Indonesia melakukan peliputan ke India utara dan berkesempatan singgah di pos perbatasan Attari – Wagah. Inilah titik di mana para pejalan dapat melakukan perlintasan untuk menyeberang ke Pakistan.
Pengalaman paling berkesan adalah menyaksikan acara penutupan pintu perbatasan kedua negara. Hal ini juga menandaskan bahwa tidak ada pelintas diperkenankan ke luar atau masuk lewat pos penjagaan, sampai gerbang dibuka kembali esok hari.
Acara penutupan ini tak ubahnya sebuah seremoni yang dihadiri lautan penonton. Dari sisi Attari (India) di mana saya berada, tercatat warga setempat, masyarakat Hindustan yang datang dari berbagai penjuru negara bagian (terlihat dari nomor registrasi bus angkutan mereka, bertuliskan kota-kota di luar Amritsar) sampai pejalan atau wisatawan manca negara membanjiri tribun. Senada di sisi Wagah (Pakistan) yang tribunnya juga tersimak sangat penuh.
Waktu menunggu seremoni penutupan gerbang diisi dengan pembacaan ayat-ayat suci Al Quran di sisi Wagah, sementara sisi Attari menampilkan kegiatan yang terkesan enerjik sekaligus patriotik. Sebutlah lari estafet sembari membopong tiang berikatkan bendera India bagi kaum perempuan.
Mulai gadis cilik, remaja, ibu sampai nenek pun terlihat berlarian melintasi tribun. Pengantarnya adalah lagu-lagu India yang masuk dalam hit-list seperti "Jai Ho" --salah satu lagu dari film "Slumdog Millionaire."
Puncak acara ditandai dengan peluit panjang dan tentara terpilih dari kedua belah pihak melakukan line-up. Pihak India diawali dua tentara perempuan yang berjalan sangat cepat. Keduanya berhenti melangkah ketika sudah mencapai sisi gerbang bertuliskan ‘India’, lantas pasukan tentara pria menyusul maju. Pihak Pakistan melakukan hal serupa; pasukan pria berbaris sejajar berhadapan dengan tentara India. Masing-masing pasukan melempar tali dan mengerek bendera masing-masing turun.
Paling menarik adalah menyaksikan gerak koreografi kedua pasukan dari Pakistan dan India, yang seluruhnya mengenakan topi khas mirip ekor merak tengah mengembang. Mereka maju jalan, mengentak-entak sepatu lars tinggi-tinggi dan bergerak dinamis, sangat cepat, bahkan seolah menjejak wajah tentara yang berdiri di depannya.
Tak kurang dari sepuluh menit atraksi dengan koreografi menawan ini dapat disaksikan, sebelum mereka kembali menampakkan wajah tanpa ekspresi dan kedua pintu gerbang ditutup rapat-rapat. Penonton bersorak dan turun dari tribun seusai upacara, berebut saling mengabadikan diri di depan pintu gerbang, mengajak tentara India berpotret di pos penjagaan atau pada sebidang tanah berstatus No man’s land.
Bagi kita sebagai warga negara Indonesia, seremoni ini bukanlah hal yang sulit disaksikan. Jangan percaya bila ada pihak menyatakan sulitnya menembus barisan tentara jaga bahkan sampai harus menyembunyikan kamera segala!
Justru sebagai warga asing, kita mendapat kemudahan. Bawalah paspor Anda, acungkan sembari berseru, “Pathkar!” alias orang asing. Saya bahkan mendapatkan kesempatan menjadi “tamu VIP” karena tribun penonton manca negara memang dibedakan dengan warga asli India. Tribun kamilah yang terdekat dengan pintu gerbang perbatasan, sehingga mudah melakukan kegiatan pemotretan.
Hanya, para tentara yang berjaga memang tersimak garang. Pengunjung asing dipersilakan memotret, tetapi tidak mondar-mandir di tribun untuk menjaga ketertiban sepanjang seremoni. Lantas untuk mencapai lokasi yang cukup dekat dengan kota Amritsar—hanya sekitar 15 menit berkendara—kami harus datang lebih awal agar bisa berdiri cukup depan dalam barisan, yang dibedakan berdasar jenis kelamin, saat melakukan pemeriksaan tubuh.
Suasana semrawut sangat terasa saat petugas menyilakan pengunjung masuk satu per satu ke bilik pemeriksaan. Rupanya, tidak semua warga setempat mau mengerti makna kalimat “mengantre satu-satu” sehingga terjadi barisan membengkak, lebih dari satu lajur. Usai pemeriksaan, pengunjung akan digiring berdasar kewarganegaraan (asing atau lokal) untuk ditempatkan di tribun. Dan pentas koreografi perbatasan pun segera dimulai. Proses yang sangat mudah, bukan?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR