Sertifikasi kayu merupakan salah satu unsur penting untuk mendorong praktik hutan lestari. Sebab, melalui label yang tertera dalam setiap produk akhir akan memudahkan siapa saja memeriksa sumber kayu yang menjadi bahan mentahnya.
Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) dan Forest Stewardship Council (FSC) adalah dua dari sertifikasi yang selama ini dikenal oleh pengusaha kayu Indonesia. SVLK merupakan skema lisensi yang menjamin ekspor kayu sesuai dengan hukum hutan di Indonesia. Melalui Pemerintah dan definisi legalitas yang telah disetujui oleh berbagai pihak dan bersifat wajib (mandatory).
Sementara itu, FSC yang bersifat suka rela (voluntary) merupakan organisasi internasional yang didirikan sejak tahun 1993 untuk mempromosikan manajemen hutan yang berkelanjutan dan "baik."
Dikatakan oleh Agus Sarsito dari Pusat Kerjasama Internasional Kementerian Kehutanan, SVLK dan FSC bisa berjalan bersamaan. "SVLK bersifat wajib dan hasil murni konsultasi multi pihak sejak tahun 2003. Sedangkan FSC penting dari segi bisnis," kata Agus ketika ditemui dalam acara "Jakarta FSC Business Encounter: Upaya Mensinkronisasikan Skema SVLK dan FSC", di Hotel Four Season, Jakarta, Selasa (12/6).
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) melalui Wakil Ketua Umumnya, Rahardjo Benyamin, menyatakan, mendukung sepenuhnya sistem sertifikasi mandatory dari Pemerintah. Namun, pihaknya juga berharap agar sertifikasi ini dapat saling melengkapi dengan sertifikasi voluntary yang telah diperoleh anggota APHI.
Menurut Rahardjo, sertifikasi bersifat voluntary telah diakui dalam skema mandatory dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHPL). Oleh karena itu, APHI berharap sebaliknya sertifikasi mandatory juga dapai diakui oleh dunia internasional berupa mutual recognition.
"Anggota APHI harus memiliki sertifikasi mandatory lebih dulu, karena apabila mereka tidak punya sertifikasi ini akan terkena sanksi. Sedangkan untuk membuka dan diterima oleh pasar butuh sertifikasi FSC," kata Rahardjo.
Untuk mengakomodir kebutuhan APHI, Bayu Krisnamurthi sebagai Wakil Menteri Perdagangan, mengusulkan adanya jembatan antara kedua skema sertifikasi ini. Tujuannya agar pihak yang sudah mendapat SVLK secara otomatis akan mendapat sertifikat FSC. "Kalau ini bisa terjadi, maka akan berdampak positif bagi perdagangan Indonesia di dunia internasional," ujar Bayu.
Selain dari pihak pengusaha, Pemerintah juga bisa menjadi jembatan bagi dua skema ini. Jika bisa digabungkan, bukan tidak mungkin para pemangku jabatan bisa menghasilkan kebijakan yang menjamin keberlangsung hutan Indonesia.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR