Jakarta, Ibu Kota Indonesia cerminan heterogenitas bangsa, berulang tahun hari ini, 22 Juni 2012. Layaknya orang tua yang sudah terlalu renta, Jakarta di usia 485 tahun, dirongrong oleh "anak-anak"-nya harus memiliki keperkasaan layaknya masih muda dulu.
Dalam "Profil Etnik Jakarta" oleh Lance Castles, Jakarta di tahun 1815 hanya memiliki 45.000 orang penduduk. Jumlah ini hanya bertambah menjadi 72.000 di tahun 1893. Angka pertumbuhan ini jauh di bawah daripada tingkat pertumbuhan penduduk Pulau Jawa secara keseluruhan.
Gelombang pertama imigrasi besar-besaran ke Jakarta terjadi akibat pembangunan Pelabuhan Tanjung Priok, perluasan fungsi pemerintahan di bawah pengaruh Politik Etis, dan pertumbuhan penduduk Jawa yang cepat. Di tahun 1930, gelombang imigran tersebut mengubah karakter penduduk dan melipatkangandakan jumlahnya menjadi 435.00 jiwa.
82 tahun kemudian, jumlah anak-anak Jakarta bertambah lebih dari 20 kali lipat. Namun, mereka menuntut Jakarta harus sama nyamannya ketika saudara-saudara mereka lebih sedikit. Tuntutan utamanya adalah melepaskan dua masalah: macet dan banjir. Sedang di saat bersamaan, dia dituntut harus terus membuka bentangan untuk peluang usaha berbagai anak bangsa yang mendiami tanahnya.
Macet merupakan masalah pertama yang diucapkan tiap kali nama Jakarta disebut. Bukan keinginan Jakarta ketika anak-anaknya mampu meningkatkan pertumbuhan kendaraan bermotor lima hingga sepuluh persen setiap tahun dengan motor sebagai penyumbang terbesar. Bukan maksud Jakarta pula saat pengelolanya (Pemerintah) hanya bisa menambah satu persen pertumbuhan jalan tiap tahunnya.
Kemacetan, ketika kendaraan saling menumpuk di jalanan, menurunkan dua masalah lain berikutnya, polusi udara dan stres para penggunanya. Danang Parikesit sebagai Pakar Transportasi pernah menyatakan, masyarakat Jakarta menghabiskan enam hingga delapan persen PDB untuk biaya transportasi. Di mana idealnya menurut standar internasional adalah hanya empat persen dari PDB. Ini artinya banyak biaya yang harusnya bisa dialokasikan untuk hal lain, "menguap" di udara Jakarta dalam bentuk polusi.
Tertahan di jalanan selama berjam-jam terasa sekali membuat kesal, stres, dan yang paling menyebalkan adalah waktu yang terbuang. Situasi bertambah tidak nyaman karena kita tertahan bersama ratusan -bahkan ribuan- orang yang sedang memiliki mood sama. Tak heran jika bertukar kata makian terjadi saat kemacetan.
Dengan demikian, anak-anak Jakarta berhasil menggabungkan kemacetan, polusi, biaya, dan masalah kesehatan dalam satu waktu yang sama. Ditaksir oleh Yayasan Pelangi, paduan semua ini memakan biaya kesehatan Rp12,8 triliun tiap tahunnya.
Banjir jadi hal berikut. Letak geografis Jakarta dan curah hujan yang mencapai 2.000 milimeter per tahun merupakan faktor pemicunya. Menurut Kepala Bidang Pemeliharaan Sumber Daya Air Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tarjuki, ada 62 titik banjir di Ibu Kota. Titik terbanyak berada di Jakarta Utara dengan 19 titik.
Namun, ada faktor pemicu tambahan yakni perubahan tata guna lahan di sekitar Ibu Kota. Pembangunan di Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi mengurangi infiltrasi air ke tanah dan mempercepat waktu tempuh hujan.
Dalam wawancara dengan National Geographic Traveler Juni 2012, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo coba mengurangi dampak buruk lingkungan ini dengan pertumbuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH). "Kami mendapatkan data bahwa RTH Jakarta terbentang sebesar sembilan persen dari keseluruhan luas Jakarta. Kami berusaha meningkatkan jadi 14 persen," kata Fauzi.
Ditambahkannya, Jakarta tengah dipersiapkan untuk waktu yang akan datang dengan mempertimbangkan jumlah, karakteristik, dan kemampuan penduduknya. Ukuran yang harus digunakan adalah relevansi apa yang harus disediakan kota dengan kebutuhan penduduk di dalamnya.
"Orang Jakarta itu spontan dan jarang punya prasangka buruk. Orang Jakarta itu sangat adaptif, akan begitu banyak perubahan singgah dan pergi," ujar Fauzi lagi.
Dengan beragam masalah di dalamnya, Jakarta masih jadi lokasi yang merindukan. Di sinilah jutaan orang dari berbagai suku memulai kehidupan, bahkan menciptakan kehidupan baru. Mengutip perkataan dari Fauzi Bowo, "Jakarta is everything."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR