Topeng monyet yang selama ini dikenal masyarakat sebagai sebuah atraksi menghibur, ternyata merupakan bentuk kekerasan terhadap satwa. Topeng monyet bahkan berpotensi untuk meningkatkan kepunahan jenis satwa di Indonesia.
Hal ini mengemukaan dalam diskusi "Stop Kekerasan Terhadap Satwa dengan Pasal 302 KUHP", di Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (16/7). Koordinator Satwa Liar dari Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Benvika mengatakan, sejak tahun 2009, ada peningkatan aduan dari masyarakat mengenai kekerasan terhadap monyet dalam atraksi topeng monyet.
Setiap harinya, ada sekitar 15-20 aduan dari masyarakat yang melaporkan bahwa monyet dilatih dengan tidak benar. Tangannya diikat ke belakang, dipaksa duduk berjam-jam di jalan, dan tidak diberi makan.
“Meski monyet masuk dalam daftar satwa apendix 2 yakni harus memiliki sertifikasi legal ketika keluar dari penangkaran, perlakuannya tetap harus sesuai prosedur. Selama ini, atraksi topeng monyet cenderung sembarangan dalam memperlakukan monyet-monyet tersebut,” kata Benvika.
Topeng monyet menjadi salah satu pekerjaan fenomenal yang ada di Indonesia. Diceritakan Benvika, monyet tersebut kebanyakan diambil dari Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Tanpa mengantongi sertifikat legal, monyet itupun dijual bebas dan dibeli oleh pelaku topeng monyet.
Selanjutnya, monyet berada dalam kuasa pemilik dan diperlakukan seenaknya. Kondisi ini, kata Benvika, sangat memprihatinkan. “Tak hanya untuk topeng monyet, mereka pun banyak diekspor untuk kepentingan khusus,” ujarnya.
Sejauh ini, penanganan terhadap monyet belum maksimal dilakukan. Belum ada Perda khusus yang menangani perlindungan terhadap monyet. Selama ini, kekuatan hukum yang mengatur hanya pasal 302 Kitab Hukum Undang–undang Hukum Pidana (KUHP) tahun 1930 tentang pelarangan terhadap kekejaman satwa.
Untuk mencegah kekerasan dalam atraksi topeng monyet, razia oleh Pemrov DKI mulai gencar dilakukan. Razia paling banyak dilakukan di Jakarta karena keberadaan topeng monyet terbesar berada di sana. Hingga Juli 2012, sudah ada 32 ekor yang tertangkap dari 400 ekor monyet yang digunakan untuk topeng monyet. Razia ini akan terus dilakukan bahkan meluas di seluruh Indonesia.
“Setelah dirazia, monyet direhabilitasi kembali untuk berperilaku baik. Sedangkan pelakunya dimasukkan dalam yayasan sosial agar bisa bekerja lebih baik,” katanya.
Pengajar Fakultas Kehewanan Universitas Gadjah Mada Wiwiek Bagia mengatakan, topeng monyet dan adu anjing adalah isu kesejahteraan hewan yang belum tuntas hingga saat ini. Kedua atraksi mempertontonkan aspek kekejaman dan kesadisan serta mendorong perjudian.
“Penganiayaan hewan seperti anjing dan monyet ini dikhawatirkan bisa mendorong kepunahan spesies hewan untuk keperluan generasi mendatang,” ungkapnya.
Ia menambahkan perlu komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk memberikan sanksi hukum pada pelaku yang melakukan pelanggaran kesejahteraan hewan. Komitmen memang sudah terlihat dari Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang baru disahkan yakni UU 16/2009 yakni pasal 66 dan pasal 67. Namun, belum ada sanksi hukum terhadapnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR