Bali, primadona tujuan pariwisata Indonesia, terkepung sampah. Sekitar setengah dari produksi sampah Pulau Dewata tidak tertampung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali menyebut, pulau ini memproduksi 10 ribu meter kubik sampah per harinya. Namun, hanya setengahnya yang bisa tertampung dan sisanya, secara menyedihkan, tercecer.
Sampah-sampah ini merupakan gabungan limbah rumah tangga dan industri Bali. Di mana sekitar 60-70 persennya merupakan sampah organik. Sisanya, sampah plastik dan kimiawi.
Solusi permasalahan ini coba dipecahkan Pemerintah Bali dengan kampanye 3 R (reduce, reuse, dan recyle). Selain itu, diadakan pula gerakan inisiatif dari masyarakat untuk membersihkan pantai-pantai ikonik Bali seperti Bali's Big Eco Weekend (BBEW) 2012.
Dalam acara ini, dua perusahaan besar, Coca Cola dan Quicksilver, bergabung bersama atlet selancar dunia untuk membersihkan pantai Bali pada 7-8 Juli lalu. Gabungan para pihak ini, ditambah penduduk sekitar dan turis yang datang, berhasil memungut sekitar 1.500 kilogram sampah dalam waktu dua jam dari lima pantai di Bali: Jimbaran, Kedonganan, Kuta, Legian, dan Seminyak.
Khusus untuk Pantai Kuta, diadakan acara pelepasan sebanyak 1.200 bayi penyu ke habitat asalnya.
"Kami ingin fokus dalam memberikan kesempatan bagi industri dan individu lainnya yang mau membantu menjaga panati-pantai Bali tetap bersih," kata Paul Hutson, CEO Quicksilver Asia Tenggara.
Sehari sebelum BBEW digelar, lebih dulu diadakan acara lelang dan konser musik yang berhasil mengumpulkan dana sebesar US$250 ribu (sekitar Rp 2,58 miliar). Dana ini akan diserahkan pada masyarakat lokal Bali.
Ditambahkan Bruce Waterfield, Bussines Services Director Coca Cola Amatil Indonesia, pihaknya sudah membersihkan pantai di Bali sejak tahun 2008 lalu. "Tahun ini kami membuka pintu untuk industri dan individual lain yang ingin ikut berkontribusi."
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR