Setelah pernah mengalami renovasi besar, Jam Gadang kembali ditutup untuk umum untuk beberapa waktu ke depan. Ada apa gerangan?
Nyaris dua tahun silam tepatnya pada 22 Desember 2010, Jam Gadang di Bukittinggi diresmikan setelah menjalani proses rehabilitasi akibat gempa yang mengguncang Sumatra Barat pada 2006 dan 2007. Proses rehabilitasi tersebut melibatkan proses pemindaian dengan menggunakan laser, yang imajinya tersaji apik di National Geographic edisi Juli 2011 lalu.
Namun, "Jam Gadang bisa saja rubuh, dan jangan salahkan strukturnya," ujar Catrini Kubontubuh, Direktur Eksekutif Badan Pelestarian Pusaka Indonesia. Ternyata saat hujan mengguyur Bukittinggi, air mengolam di dasar jam yang memang berbentuk cekungan. "Saluran air juga tergenang karena telah mampat dan dangkal," ujar Jonny Wongso, arsitek Pusat Studi Arsitektur dan Konservasi Universitas Bung Hatta, Padang.
Ancaman ini menggerakkan Pemerintah Kota Bukittinggi untuk menyelenggarakan kerja sama dengan Universitas Bung Hatta, untuk membebaskan lantai Jam Gadang dari genangan yang membahayakan struktur keseluruhan. Perbaikan ini dilakukan berdasarkan rekomendasi yang telah dikerjakan oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) selama bertahun-tahun.
Setelah sempat tertunda karena bulan suci Ramadhan, awal minggu ini pun pekerjaan rehabilitasi dijalankan kembali. "Waktu pengerjaan ini juga berkejaran dengan musim hujan," ujar Catrini. Ia menjelaskan bahwa Jam Gadang akan dipercantik dengan papan-papan informasi bagi pengunjung dalam proses rehabilitasi kali ini.
"Sebenarnya masalah yang lebih luas lagi adalah lalu-lintas," papar Catrini. Jam Gadang yang dikelilingi oleh jalan tempat mobil berseliweran juga memiliki dampak langsung bagi struktur bangunan jam. Untuk benar-benar menyelamatkan ikon kebanggaan Bukittinggi ini, "Kata kunci berikutnya adalah manajemen," tegas Catrini. Ya, dengan pelaksanaan manajemen yang baik di sekeliling pusaka, baik terkait peraturan lalu-lintas maupun struktur lain yang dianggap memiliki dampak langsung, jam yang dibangun pada 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh ini akan terus terjaga kelestariannya hingga terus dapat dinikmati anak cucu kita kelak.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR