Di balik ancaman perdagangan daging, telur, dan permintaan plastron, kehidupan penyu di Indonesia masih memiliki setitik harapan. Dalam simposium mini yang digelar di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Minggu (21/10), terungkap data dari 10 situs peneluran terbesar di Indonesia.
Diketahui bahwa di seluruh lokasi tersebut, 100 persen telur bisa diamankan dari pencurian. Juga ancaman dari predator dan alam bisa diminimalisir.
Menurut Ida Bagus Windia Adnyana, Pimpinan Program Studi Penyu di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, Bali, ini merupakan keberhasilan upaya konservasi di Indonesia yang sudah berlangsung hampir selama empat dekade. "Data yang terkumpul di sini, bila ingin dikuantifikasi, bisa dikatakan 50 persen dari total tukik yang menetas bisa diselamatkan," kata Windia dalam "Mini Simposium Menakar Keberhasilan Program Konservasi Penyu Laut di Indonesia."
Acara simposium ini merupakan hasil kerja sama antara Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKJI KKP) bekerjasama dengan WWF-Indonesia.
Toni Ruchimat, Direktur KKJI, dalam sambutannya mengatakan, simposium ini sangat dibutuhkan. Karena Indonesia perlu menghimpun data konservasi penyu yang saat ini terserak di setiap lokasi. Simposium ini juga mengumpulkan praktisi dari seluruh penjuru Indonesia dan akan menghasilkan data populasi penyu nasional.
Mini simposium ini dihadiri oleh praktisi konservasi penyu dari Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku Tenggara, Papua Barat. Sekitar 19 pembicara menyampaikan data, pengalaman, dan hasil pembelajaran dari aktivitas konservasi penyu di lokasi masing-masing.
Meski demikian, ancaman terhadap penyu masih ada, termasuk dari manusia. “Ancaman terhadap penyu masih seperti dulu, perdagangan daging dan telur masih ada, ditambah dengan munculnya permintaan plastron untuk pasar internasional,” demikian disampaikan Wawan Ridwan, Direktur Progam Kelautan dan Perikanan WWF-Indonesia.
Dengan beragamnya ancaman ini, kegiatan konservasi tidak cukup dilakukan seadanya, tapi diperlukan adaptasi strategi. Ancaman dari luar kawasan, seperti perdagangan plastron internasional, tidak bisa ditangani hanya kegiatan penegakan hukum setempat, tetapi harus lewat berbagai inisiatif regional/internasional.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR