Konferensi Perubahan Iklim PBB Kerangka Kerja PBB pada Konvensi Perubahan Iklim di Doha, Qatar, menyisakan waktu kurang dari sehari. Namun, hingga Kamis (6/12), tak ada komitmen pendanaan untuk perubahan iklim.
Rabu lalu ditunjuk menteri dari Maladewa dan Swiss -mewakili negara berkembang dan maju- untuk menyelesaikan perbedaaan antardua kelompok itu. Perundingan yang masih buntu mencakup komitmen dana perubahan iklim dan kelanjutan Protokol Kyoto yang tahap pertama berakhir pada 31 Desember 2012.
Konferensi di Durban pada COP-17 disepakati adanya rezim baru pengganti Protokol Kyoto yang akan mulai berlaku 2020 dan rancangannya selesai 2015. Hingga kemarin, AS dan Uni Eropa menolak memberi dana segar perubahan iklim 2013-2020.
Negara-negara berkembang mengatakan butuh dana tambahan mnimal US$60 miliar (lebih dari Rp576 triliun) dari sekarang hingga 2015 untuk menghadapi bencana akibat perubahan iklim, seperti kekeringan, banjir, ombak besar, dan badai. Wakil dari Uni Eropa Pete Betts mengatakan, "Saat ini keuangan di Eropa berat. Dan, kami seperti negara maju lainnya tidak pada posisi sepakat pada target apa pun pada 2015."
Jonathan Pershing dari AS menuturkan,"Kami melakukan apa yang sudah kami sepakati dan sesuai dengan komitemn yang sudah kami berikan." Pihak AS selama ini mendukung pendanaan yang sebelum 2020, yang disebut fast-track fund. Selasa lalu, Sekjen PBB Ban Ki-moon mendesak para perunding menyisihkan perbedaan di antara mereka dalam menghadapi "krisis" pemanasan global yang amat berat.
Rabu (5/12) malam, Ketua Satgas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto memberi laporan kemajuan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD+) di Indonesia. "Untuk pertama kali dalam sejarah, pemerintah membuka kepada publik peta digital sehingga bisa diperiksa siapa pun di seluruh dunia," ujarnya. Menurut dia. REDD+ tak hanya soal karbon dan hutan." Soal kesejahteraan manusia, keadilan, dan penghapusan kemiskinan."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR