Nationageographic.co.id – Pandemi Covid-19 yang seakan tidak berkesudahan memberi pengaruh besar terhadap kesehatan mental masyarakat.
Pada masa pandemi, masyarakat diharuskan beradaptasi dengan situasi serbaterbatas. Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), ketidakmampuan melakukan pertemuan tatap muka secara langsung, dan keharusan menerapkan kebiasaan baru seperti protokol kesehatan.
Situasi tidak nyaman tersebut, ditambah dengan mengalirnya hoaks dan disinformasi mengenai Covid-19 yang meresahkan, kabar dari anggota keluarga yang sakit, serta berita duka.
Psikiater sekaligus influencer dr Erickson Arthur Siahaan, Sp KJ, dalam Dialog Produktif Semangat Selasa yang disiarkan secara daring melalui Youtube FMB9_ID pada Selasa (10/8/2021), mengatakan bahwa masyarakat dapat mengalami titik jenuh.
Kejenuhan beradaptasi dalam jangka waktu panjang dapat mengancam kesehatan mental.
Baca Juga: Pentingnya Merawat Kesehatan Mental Untuk Menghindari Migrain Kronis
“Pada masa awal pandemi berlangsung ada reaksi kecemasan dan stres mengenai apa itu Covid-19. Setelah satu setengah tahun, pengetahuan masyarakat sudah terbentuk, tetapi masyarakat dapat jatuh pada kondisi pandemic fatigue,” kata dr Erickson dalam dialog yang digelar oleh Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) tersebut.
Menurut dr Erickson, stres juga dapat timbul dari reaksi beragam terhadap pandemi Covid-19 di masyarakat. Pada satu sisi, ada masyarakat yang patuh dan mencari tahu dengan seksama mengenai Covid-19 serta protokol kesehatan yang perlu diterapkan.
Namun, di sisi lain, ada masyarakat yang menolak memahami pandemi Covid-19 dan protokol kesehatan. Ketidakpercayaan akan adanya Covid-19 membuat anggota masyarakat tersebut abai dalam menerapkan protokol.
Pertentangan pendapat membuat masyarakat lelah. Lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi setelah situasi menjadi lumayan kondusif juga mengecewakan masyarakat.
Untuk menjaga kesehatan mental, dr Erickson menyarankan setiap orang untuk mulai mengenali diri dan emosi yang tengah dirasakan.
Baca Juga: Sains Memaafkan, Belajar Memberi Maaf Baik bagi Fisik dan Mental
“Dimulai dari diri sendiri sebelum kita berusaha untuk care terhadap orang lain. Kenali dulu karakter diri kita ini siapa? Apakah kita ini seorang yang pencemas, meluap-luap, atau menghindar. Kemudian, kelola stres,” katanya.
Menurut dr Erickson, proses mengenali diri sendiri menjadi hal yang paling utama karena setiap orang memiliki sumber (trigger) stres masing-masing. Dengan memahami diri sendiri, seseorang dapat mengidentifikasi trigger tersebut dan menyadari setiap emosi yang muncul. Setelah itu, cara mengelola stres dengan yang efektif dan sesuai dapat ditemukan.
“Setiap orang punya sumber stres berbeda-beda. Dengan begitu, masing-masing orang akan punya cara pengelolaan yang juga berbeda-beda,” tambah dr Erickson.
Selain itu, ia juga menyampaikan pentingnya memberi jeda dalam mengonsumsi informasi terkait Covid-19. Ia menyarankan, masyarakat untuk mengonsumsi informasi mengenai Covid-19 pada saat-saat tertentu saja.
Selain itu, mengalokasikan waktu untuk diri sendiri atau “me time” dan menjaga komunikasi dengan teman-teman atau kerabat juga diperlukan.
Baca Juga: Skizofrenia Faktor Risiko Tertinggi Kedua Kematian akibat COVID-19
“Tetap pertahankan sosialisasi dengan orang lain. Pembatatasan kegiatan sosial tidak berarti komunikasi terputus. Bersosialisasi tetap dapat dilakukan tanpa tatap muka langsung. Misalnya dengan memanfaatkan teknologi, yakni melalui panggilan telepon atau menggunakan aplikasi untuk berkomunikasi dengan orang lain,” katanya.
Terkait sosialisasi, Rhaka Ghanisatria mengatakan, berkomunikasi dan berbagi cerita dapat mengurangi beban emosi.
Hal itu ia buktikan lewat platform digital Menjadi Manusia yang ia rintis. Platform tersebut menghadirkan media untuk menyalurkan kegelisahan dengan cara berbagi cerita.
Rhaka mengatakan, selama menggawangi platform Menjadi Manusia ia sudah melihat bagaimana berbagi cerita dapat menjadi bentuk tolong-menolong.
“Ketika berbagi cerita, kita melepaskan beban yang kita punya dan bisa menjadi coping mechanism. Namun, cerita kita juga bisa menjadi inspirasi buat orang lain dan menyelamatkan mereka. Orang lain yang membaca cerita tersebut akan merasa terhubung, merasa dikuatkan karena sadar bahwa dia tidak sendirian,” katanya.
Mengatasi kelelahan mental dengan gotong royong
Dalam dialog tersebut, Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satgas Covid-19 Sonny Harry B Harmadi mengatakan, pemerintah berkolaborasi dengan Himpunan Psikolog Indonesia untuk membuka layanan konsultasi untuk mengatasi beban mental masyarakat.
Namun, menurut Sony, dari dalam diri masyarakat juga harus muncul dorongan untuk bergotong-royong mencegah emosi negatif beredar di masyarakat.
Baca Juga: Kesehatan Mental Anak Muda dan Kelompok Minoritas Menurun Selama Pandemi
“Upaya menghentikan hoaks yang meresahkan orang lain, membangun empati dan gotong-royong, serta menggemakan narasi dan pesan-pesan positif, juga bermanfaat untuk membangun ketenangan batin masyarakat,” imbuhnya.
Tak hanya itu, supaya pandemi Covid-19 tidak semakin berlarut-larut, diperlukan partisipasi, kolaborasi, dan dukungan seluruh anggota masyarakat.
Menurut Sony, partisipasi masyarakat yang sudah sangat baik selama PPKM level 4 diberlakukan harus diteruskan. Ia mengatakan, PPKM level 4 telah berhasil menurunkan kasus aktif secara signifikan.
Selain itu, bed occupancy rate (BOR) juga turun siginifikan hingga 54 persen. Kesadaran masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan pun terus meningkat.
“Pemerintah, termasuk Satgas Covid-19 tidak bisa menyelesaikan pandemi sendirian. Kami mengapresiasi anggota masyarakat yang memilih menjadi bagian dari solusi bukan masalah,” ujarnya.
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR