Tanpa berlama-lama, saya segera menelisik apa yang tersaji di meja. Satu mangkuk sumsum (empat buah tulang yang masih berbalut daging tipis dan lemak), sepiring nasi, dan seporsi sate daging (delapan tusuk) yang dihidangkan di atas daun pisang beralaskan nampan kayu.
Saya menyibak tulang berisi sumsum domba itu. Tapi, saya sempat terperanjat. “Kok, ada dua penyedot plastik pendek di dalam mangkuk,” saya bergumam.
Oh! Rupanya penyedot plastik itu digunakan untuk menyeruput sumsum yang berada di dalam tulang. Ide ini baik, tetapi saya terganggu karena masakan itu masih meruapkan panas dan aroma harum dari bumbu. Dalam ilmu kimia, plastik terbuat dari polimer yang mudah lepas ikatan organik ketika mendapatkan panas yang sesuai. Dan, sempat menggaggu selera.
Sendok saya masukkan, dan saya mencicipi kuah sumsum. Boleh juga!
Lalu, saya mengambil satu tusuk sate daging.
Wow! Daging sate terasa lembut saat saya mengunyahnya.
Saya menambahkan kecap manis di dalam santapan saya. Tanpa tersadar, pikiran saya memerintahkan saya kembali memesan tambahan nasi wangi. Kali ini, “nasinya setengah saja, Mbak.”
Ah, hujan telah berganti gerimis di luar kedai. Saya masih sibuk menghabiskan sajian. Sebetulnya, saya masih ingin mencicipi tongseng dan jahe. Namun, kancing celana jeans sudah terlepas dari posisi sebenarnya. Ini pertanda saya harus menyudahi kunjungan perdana. Kali lain, saya masih ingin menyantap menu bakar yang belum tersedia dan kuah lainnya.
Bagi saya, kedai Dombrut patutlah kita ramaikan. Semangat sang pemilik yang mengusung budaya makan leluhurnya (Yuke memiliki garis keturunan Garut dari sang kakek) perlu kita tiru. Di tengah perlombaan menu impor, masakan berbahan dasar pangan lokal yang sehat ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Inilah implementasi dari semangat geowisata dalam dunia kuliner kita. Saya setuju akan hal itu!
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR