Sudah dua hari belakangan hujan selalu mengguyur Ibu Kota sejak petang. Kalau sudah begini, berita yang mendominasi situs web berita papan atas pastilah persoalan macet dan lalu lintas yang kusut. Media sosial pun menyambar cerita tadi.
Gerimis telah membasahi Jakarta saat saya mengarahkan tujuan mencari penganan pada Minggu (23/12). Sejak awal pergi, saya telah mantap memilih kedai makan Dombrut, yang berada di bilangan Kemang, Jakarta Selatan. Inilah kunjungan pertama saya terhadap warung makan yang dimiliki Yuke Muhammad Sampurna, pembetot bas Dewa 19 dan The Groove.
Saya tak khawatir menyantap sajian berbahan dasar daging domba, yang punya sebutan bule: “lamb”. Sebab, berdasarkan diet golongan darah, saya justru diminta tidak lagi menyantap beragam olahan daging sapi. Sebagai gantinya, memperbanyak konsumsi daging domba dan kambing. Wah, saya tentu saja sepakat!
“Dombrut Berganti Baju” sekelumit kalimat itu terbingkai rapi dan dibubuhkan kata “organic”. Saya masih memandangi tulisan besar itu yang berada di bagian dinding bercat hitam. Setelah duduk di kursi yang menghadap ke arah televisi layar datar, saya segera mengamati detail warung makan yang dikelola oleh pasangan pesohor Yuke dan Teges Prita Soraya ini.
Pengamatan saya terhadap bagian dalam kedai belumlah selesai. Pramusaji telah mengangsurkan daftar menu, saya pun teralihkan. Semangat berbeda muncul bersamaan dengan meneliti daftar itu, satu per satu. Daging domba diolah sedemikian rupa.
Ada pilihan kuah, mulai dari gulai (Rp27.500), kuah daging (Rp27.500), tongseng (Rp27.500) hingga sumsum (Rp35.000). Lalu, ada nasi goreng domba yang dibanderol Rp30.000. Tak ketinggalan, aneka sate. Satu porsi sate yang berisi delapan tusuk dihargai Rp40.000. Sementara, sate yang hanya berisi daging tanpa lemak sedikit lebih mahal, Rp55.000.
Mata saya masih menelisik satu per satu pilihan menu. Tapi, tiba-tiba, indera pengelihatan merespon berbeda. Ada menu bakar: “lamb shank” (Rp98.000) dan “lamb chop” (Rp92.000). Sebagai rencang-nya (baca: teman) adalah kentang goreng. Sedap! Ini salah satu kesukaan saya.
“Saya pesan 'lamb shank'-nya satu, Mbak.”
“Maaf, untuk menu tersebut kita sedang kosong,” jawab pramusaji, ramah.
Aduh, sayang sekali. Saya harus menelan kecewa.
Baiklah, saya akhirnya memutuskan memesan olahan daging dalam tema kuah: sumsum. Lalu, mencicipi satu porsi sate daging dan campur. Saya yang terbiasa makan nasi, melengkapi pesanan dengan nasi wangi (Rp5.000).
Ting! Bel berbunyi.
Pramusaji yang duduk dekat meja kasir segera naik ke lantai dua, tempat mengolah pesanan pelanggan kedai ingin memajukan dan melestarikan budaya makan Indonesia.
Tanpa berlama-lama, saya segera menelisik apa yang tersaji di meja. Satu mangkuk sumsum (empat buah tulang yang masih berbalut daging tipis dan lemak), sepiring nasi, dan seporsi sate daging (delapan tusuk) yang dihidangkan di atas daun pisang beralaskan nampan kayu.
Saya menyibak tulang berisi sumsum domba itu. Tapi, saya sempat terperanjat. “Kok, ada dua penyedot plastik pendek di dalam mangkuk,” saya bergumam.
Oh! Rupanya penyedot plastik itu digunakan untuk menyeruput sumsum yang berada di dalam tulang. Ide ini baik, tetapi saya terganggu karena masakan itu masih meruapkan panas dan aroma harum dari bumbu. Dalam ilmu kimia, plastik terbuat dari polimer yang mudah lepas ikatan organik ketika mendapatkan panas yang sesuai. Dan, sempat menggaggu selera.
Sendok saya masukkan, dan saya mencicipi kuah sumsum. Boleh juga!
Lalu, saya mengambil satu tusuk sate daging.
Wow! Daging sate terasa lembut saat saya mengunyahnya.
Saya menambahkan kecap manis di dalam santapan saya. Tanpa tersadar, pikiran saya memerintahkan saya kembali memesan tambahan nasi wangi. Kali ini, “nasinya setengah saja, Mbak.”
Ah, hujan telah berganti gerimis di luar kedai. Saya masih sibuk menghabiskan sajian. Sebetulnya, saya masih ingin mencicipi tongseng dan jahe. Namun, kancing celana jeans sudah terlepas dari posisi sebenarnya. Ini pertanda saya harus menyudahi kunjungan perdana. Kali lain, saya masih ingin menyantap menu bakar yang belum tersedia dan kuah lainnya.
Bagi saya, kedai Dombrut patutlah kita ramaikan. Semangat sang pemilik yang mengusung budaya makan leluhurnya (Yuke memiliki garis keturunan Garut dari sang kakek) perlu kita tiru. Di tengah perlombaan menu impor, masakan berbahan dasar pangan lokal yang sehat ingin menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Inilah implementasi dari semangat geowisata dalam dunia kuliner kita. Saya setuju akan hal itu!
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR