Berawal dari tantangan yang diajukan Netherlands Architecture Institute (NAi), sekelompok arsitek Indonesia merekam lini masa arsitektur Tanah Air. Rupanya? Buku setebal 180 halaman dengan judul Tegang Bentang.
Nadia Purwestri, sebagai salah satu penyusun, menyatakan bahwa buku ini dibuat berdasarkan bahan yang sudah ada ditambah hasil riset timnya. Buku ini sendiri merupakan pelengkap dari pameran arsitektur Indonesia yang sudah selesai digelar pada November 2007 hingga Januari 2008 silam.
Kenapa nama Tegang Bentang yang mereka pilih? "Karena setiap mengusahakan arsitektur, pasti ada ketegangan positif antara generasi tua dan muda," jawabnya dalam acara bedah buku di Universitas Tarumanegara, Jakarta, Selasa (2/4).
Buku berdimensi 210 sentimeter x 240 sentimeter ini dibuka dengan kata pengantar dari Marco Kusumawijaya --arsitek yang juga pengamat perkotaan. Sedangkan isi dari Tegang Bentang menjadi rekam jejak rancang bangun di Nusantara dari masa 1900-an.
Beberapa ketegangan, seperti yang dikatakan Nadia, tercermin dari perselisihan antara dua arsitek asing, Wolff Schoemaker dan Pieter Andriaan Jacobus Moojen, pada masa kolonialisme. Schoemaker menyukai kemodernan untuk bangunan di Hindia Belanda, sebaliknya Moojen pada tahun 1907 mengkritik bahwa konstruksi tersebut hanya tiruan neo-Helenisme yang tak berjiwa.
Karya Schoemaker saat ini masih ada dalam rupa Villa Isola yang dibangun tahun 1932. Bentuknya yang tidak biasa, menjadikan villa ini bangunan luar biasanya di zamannya, bahkan menjadi salah satu landmark di Jawa Barat.
Namun, Moojen juga memiliki pengikut dalam sosok Henry Maclaine Pont yang menyatukan unsur Indonesia dalam karyanya. Wujudnya berupa arsitektur fenomenal Aula Barat dan Timur Institut Teknologi Bandung (ITB) serta Gereja Pohsarang (Kediri). Kedua bangunan ini masih ada hingga sekarang.
Dipaparkan juga bagaimana Presiden Soekarno menginginkan bangunan modern saat Indonesia merdeka. Arsitektur modern dianggapnya bisa memperkokoh kekuasaan. Dan, mengingat kondisi Perang Dingin saat itu, bangunan modern juga menjadikan Indonesia sebagai bangsa progresif.
"Di sini terlihat bagaimana arsitektur menjadi sesuatu yang mengayun, dari yang sangat tradisional hingga ke yang sangat modern," papar Amir Sidharta, editor buku sekaligus kurator Museum Universitas Pelita Harapan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR