Nationalgeographic.co.id—“Ancaman paling besar sekarang adalah ancaman manusia,” ungkap Mundardjito Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia ketika berpendapat tentang nasib situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat.
Dalam satu minggu diperkirakan sebanyak 16.000 orang merayapi bebatuan situs megalitik itu. Mereka menginjak-injak batu, ada pula yang mengangkat batu karena mitos tertentu, batu dipukul-pukul, atau dipakai keset. “Aduh! Kita tidak menghargai karya nenek moyang kita yang begitu hebat,” ujarnya. “Saya lemas!”
“Situs gunung Padang itu adalah situs yang dilindungi Undang-Undang Cagar Budaya,” ujarnya. Bahwa setiap penelitian yang berkait dengan cagar budaya harus mendapatkan izin dari Pusat Arkeologi Nasional dan Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Menurutnya, setiap orang yang melakukan penelitian akan membuat proposal yang memaparkan desain penelitiannya. Tanpa hal itu peneliti tidak dapat mengatur pekerjaannya secara terorganisasi.
Berkait soal Tim Terpadu Penelitian Mandiri di Gunung Padang yang mengungkap temuan piramida, emas, dan pasir penahan gempa yang bersemayam di bawahnya, “Itu saya katakan pseudo-archaeology,” ungkap Mundardjito. “Arkeologi yang pura-pura.”
“Arkeologi bekerja secara pelan hati-hati,” ungkapnya. “Arkeologi itu bicara konteks.” Dalam arkeologi bukan produk yang dicari, tetapi prosedur. Artinya, apabila salah dalam menggali, konteks dari suatu temuan bisa kabur. “Bagaimana dia bisa berkesimpulan sampai piramida?” tanyanya. “Itu hipotesis di atas hipotesis!”
Jika setiap orang ingin tahu isi Gunung Padang lalu situs itu dibuka, Mundardjito menambahkan, artinya itu akan menjadi penelitian yang tidak berwawasan lingkungan.
“Konsep itu tampaknya tidak diikutsertakan dalam golden rule penelitian mereka,” ujarnya. “Saya sudah melihatnya. Kehati-hatian tidak ada.”
Pada 26 April 2013 sore hingga malam, sekumpulan ahli arkeologi dan ahli geologi yang mengatasnamakan Forum Pelestari Gunung Padang bertemu di Pusat Arkeologi Nasional. Mereka melayangkan surat permohonan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera mengeluarkan moratorium untuk menghentikan kegiatan penelitian Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang.
“Pertemuan ini berdasar rasionalitas, artinya berdasar pada data,” ungkap Junus Satrio Atmodjo, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. “Data itu harus logis bisa dibuktikan secara terbalik.” Menurutnya, Tim Terpadu Penelitian Mandiri hanya memenjelaskan soal fenomena-fenomena temuan. Kemudian dirangkai menjadi sebuah pemikiran, lalu dilempar oleh tim ke publik. “Seharusnya apapun yang disampaikan ke publik harus berdasar pembuktian.”
Junus juga mempertanyakan legalitas Tim Terpadu Penelitian Mandiri. Bahwa Sekretariat Negara tidak memiliki kompetensi untuk melakukan penelitian. Penelitian atas nama negara, sebaiknya dilakukan oleh lembaga yang berkompetensi supaya hasil terukur, lestari, dan tidak karut-marut. “Penelitian tentang kepurbakalaan kompetensinya di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.”
Dia juga melihat adanya persiapan dari tim ini untuk memobilisasi relawan secara besar-besaran. Tampaknya, menurut Junus, mereka ingin menampilkan bangunan itu cepat-cepat untuk membuktikan bahwa hipostesis mereka terbukti. “Penelitian itu tidak harus dilakukan besar-besaran dan cepat, namun harus dilakukan secara hati-hati.”
Suatu hal yang mengerikan bakal terjadi dalam imaji Junus apabila ratusan kotak gali dibuka secara bersama-sama untuk menelanjangi situs Gunung Padang. Bagaimana nasib situs leluhur itu? Menurutnya dukungan masyarakat ini menggebu-gebu karena mereka tidak mengerti. “Ada halusinasi untuk berbuat sesuatu untuk membanggakan negara ini,” ungkap Junus. “Tetapi arahnya salah.”
“Penelitian itu adalah sebuah proses,” ungkap Junus. Pertama, sebelum penelitian berjalan harus ada studi kelayakan yang diterjemahkan sebagai desain penelitian. Kedua, penelitian dilakukan oleh tenaga ahli cagar budaya. Kalau pun belum ada tenaga ahli cagar budaya, setidaknya harus berstatus peneliti.
Ketiga, adanya tanggung jawab akademik dalam arti semua prosedur penelitian harus diikuti. Jika tidak ada desain riset, penelitian tidak bisa dikendalikan dan tidak bisa dikenali arahnya.
Penelitian yang dilakukan Lutfi Yondri dan timnya dari Balai Arkeologi Bandung juga mencatat berbagai bentuk kerusakan di situs Gunung Padang. Kerusakan memang bisa disebabkan oleh alam, namun peran manusia—pengunjung dan masyarakat—juga sangat besar dalam proses perusakan itu.
Sebagai upaya pelestarian dia mengusulkan ditetapkannya tiga zonasi perlindungan. Zona Inti yang merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya seluas 9.000 meter persegi. Zona Penyangga, suatu area yang melindungi zona inti seluas 129.000 meter persegi.
Dan, Zona Pengembangan, berfungsi melindungi lanskap alam dan budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, rekreasi dan kepariwisataan seluas 153.800 meter persegi. "Situs megalitik Gunung Padang perlu segera ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan zonasi yang dihasilkan dari penelitian," tulis Lutfi dalam laporannya, "sehingga nantinya kelestarian situs megalitik Gunung Padang dapat dijaga."
Meskipun belum mendapatkan status resmi cagar budaya menurut perundangan baru, situs ini dapat dikategorikan "diduga cagar budaya" dan mendapat perlakuaan semestinya sebagai cagar budaya.
Pada 29 April 2013 Tim Terpadu Penelitian Mandiri Situs Gunung Padang di bawah Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana telah menghentikan sementara ekskavasi di situs megalitik tersebut.
Hingga berita ini ditayangkan, Forum Pelestari Gunung Padang masih menantikan keputusan pemerintah soal moratorium penghentian penelitian yang dilakukan tim tersebut dan penunjukan lembaga negara yang memiliki kompetensi di bidang arkeologi sebagai penanggung jawab.
Forum ini juga secara terbuka mengharapkan pihak-pihak yang peduli terhadap pelestarian situs Gunung Padang untuk bertukar informasi dan menyatukan pendapat.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR