Steak ayam yang baru saja saya santap rasanya melunjak-lunjak dalam perut. Tangan saya beberapa kali membetulkan posisi agar tidak terperosok ke bawah kursi.
Maklum saja, sulit untuk duduk tenang di mobil off-road yang membawa kami dari kota Yogyakarta ke Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jalurnya pun cukup menantang bagi para pengendara amatir mengingat rutenya berupa kiri-kanan-menikung tajam-menanjak. Begitu terus selama dua jam perjalanan. Tujuan kami: Pantai Ngandong.
Pak Jiman, pengasuh penginapan di Pantai Ngandong sekaligus penjemput kami sore itu, langsung sumringah begitu mendekati pantai. "Sampai! Ini dia tempat kami mbak," ujarnya dengan logat Jawa kental.
Suasana malam membuat saya sulit melihat jernihnya Ngandong. Namun, pasir putih bak karpet yang menempel di kaki, membuat saya membayangkan cantiknya pantai ini di keesokan hari.
Pak Jiman menuntun kami ke penginapan berupa rumah panggung sederhana. Letaknya tepat di bawah karang raksasa. Tak mewah, namun menenteramkan. Malam itu jadi pertama kalinya kami terlelap ditemani deburan ombak laut selatan Yogyakarta.
Saat mentari mengintip pagi itu, tebakan saya tepat! Ngandong cantik nan rupawan. Karang raksasa terlihat dihantam deburan ombak, lengkap dengan jernihnya air dan langit biru sebagai latar. Pasir putih di ujung penglihatan saya membentuk lengkungan indah. Ombak yang menggulung di belakangnya nampak sedap bagi para peselancar.
Si mbah, masih berelasi keluarga dengan Pak Jiman, sudah hadir dengan sarapan: dua piring mini nasi goreng, teh tubruk bergula batu, dan (ini yang paling melegakan batin saya) senyum tulus.
Pak Jiman dan keluarganya memang hanya berstatus sebagai pengasuh penginapan sederhana. Namun, keramahan mereka sekeluarga lebih dari hotel mewah manapun yang pernah saya singgahi.
Diceritakan Pak Jiman, tamu yang ia terima dianggapnya sebagai saudara. "Tapi saya tidak mau seperti penginapan lain di sekitar [Gunungkidul] sini yang menyediakan kamar short-time," ujarnya saat menikmati keong macan rebus, cumi, dan ikan sebagai makam malam.
"Penginapan di sini dibina warga dan uang dari tamu kami gunakan untuk tambah-tambahan," tambah bapak sepasang putra kembar itu.
Penginapan yang diasuh keluarga Jiman ada empat kamar. Tiga kamar non-AC bertarif Rp300.000 saling terhubung dengan warung makan miliknya. Satu kamar lagi terpisah dengan tarif Rp500.000, plus AC, berbentuk rumah panggung di kaki karang besar.
Dibanding penginapan di pantai-pantai lain di Gunungkidul (Sundak, Kukup, Krakal, Baron, Drini, atau Indrayanti) tempat keluarga Jiman-lah yang paling sunyi. Tidak diselingi kepadatan penginapan lain atau hamparan pedagang.
Dalam situs resmi turisme Yogyakarta, nama Pantai Ngandong juga tidak tercantum. Namun "tetangga"-nya yakni Pantai Sundak terpampang bersama beberapa pantai ternama lain di Gunungkidul.
Jika Anda berminat berkunjung, lebih nyaman saat bukan musim libur (Mei -Juni dan Desember) atau akhir pekan. Waktu yang Anda habiskan di sini juga akan terasa lebih lama dengan ketiadaan sinyal (hanya satu provider yang tersedia) dan TV.
Namun, bertebarnya keramahan alam dan warga sekitar, menjadikan Pantai Ngandong tempat tepat untuk meredakan rasa pekat perkotaan.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR