“Sebagai sebuah lembaga,” kata Junus Satrio Atmodjo, “sebetulnya lembaga arkeologi kita usianya lebih dari seratus tahun.” Junus memaparkan peran masyarakat melestarikan warisan purbakala dalam seminar sehari memperingati 100 tahun Lembaga Purbakala di Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan, Jumat (14/6).
Setiap 14 Juni, Indonesia memperingati Hari Purbakala yang didasarkan pada terbentuknya lembaga yang menggarap kepurbakalaan di Hindia Belanda pada 1913, Oudhiedekindige Dienst (OD). Namun, embrio terbentuknya OD, menurut Junus, sudah ada sejak puluhan tahun sebelumnya ketika awal dimulaianya penanganan tinggalan purbakala seputar Jawa dan Madura oleh pemerintah kolonial pada 1901.
“Yang mendirikan itu mereka yang sebetulnya tidak punya gelar arkeolog,” kata Junus. “Rata-rata mereka hanyalah peminat.” Mereka yang minat pada kepurbakalaan biasanya adalah pengagum benda purbakala sekaligus kolektor.
Misalnya, Henry Maclaine Pont, insinyur sipil dan antikuarian yang membangun pabrik gula di Mojokerto pada 1920-an, lalu kepincut ke sebuah desa yang dulunya ibu kota Majapahit.
Jauh sebelum OD didirikan, minat masyarakat soal kepurbakalaan telah muncul dan berkembang di negeri ini. Sebuah perkumpulan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen didirikan pada 1778 untuk tempat diskusi para peminat budaya, sekaligus pusat pengumpulan benda-benda sejarah dan seni. Anggotanya warga kota yang tertarik soal tinggalan purbakala.
Kita boleh berbangga lantaran perkumpulan ini menjadi perhimpunan tertua di Asia Tenggara untuk bidang ilmu pengetahuan dan seni. “Daya tarik arkeologi memancing perhatian orang.” Junus tidak memungkiri bahwa selain fakta sejarah, keberadaan tinggalan purbakala kerap dikaitkan dengan legenda dan mitos.
Menurutnya, kekaguman tentang kelambu teka-teki masa silam telah mendorong orang untuk berkreasi dengan cerita fiksi berbumbu arkeologi. Junus menyebutkan tokoh Lara Croft yang diperankan Angelina Jolie dalam film Tomb Raider.
Film tersebut turut mempopulerkan situs-situs bersejarah di Kamboja. Ada juga film yang berkisah petualangan arkeolog kawakan, Indiana Jones yang dilakonkan oleh Harisson Ford. Salah satu kisah Jones juga turut membangkitkan daya imajinasi masyarakat soal kepurbakalaan suku Aztec di Amerika Tengah.
Di Indonesia, film-film laga berlatar sejarah seperti Saur Sepuh dan Tutur Tinular pun pernah meledakkan gedung-gedung bioskop pada 1980-an dan 1990-an. “Sayangnya, ceritanya terlalu dilebih-lebihkan,” ujar Junus.
Pada kenyataannya kemisteriusan benda-benda kuno itu selalu menarik para pemula arkeologi. Namun, di sinilah perlunya peran ahli arkeologi untuk mengimbali dengan berbagai penjelasan yang masuk akal dalam memahami fenomena misteri itu. Tradisi berpikir logis, akademik, dan cara kerja yang menghindari spekulasi inilah yang diwariskan Lembaga Purbakala kita.
Masyarakat dapat turut mengembangkan arkeologi lewat berbagai disiplin ilmu untuk mengungkap permasalahan yang tidak terjangkau pemerintah, demikian ungkap Junus. Hal tersebut akan memberi kontribusi bagi pengembangan keilmuan dan fakta sejarah.
“Yang disumbang arkeologi hanyalah data,” ujarnya. “Peran masyarakat besar dalam membentuk arkeologi.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR