Bulan November 2006 di bukit Naususu di kawasan Molo Utara, Timor Tengah Selatan, hawa dingin mendadak memanas. Sembilan perempuan adat menduduki batu yang akan dipotong-potong pekerja perusahaan tambang. Sembilan wanita yang kesemuanya adalah ibu rumah tangga tak mau beranjak saat para pekerja mulai menggunakan alat berat untuk memotong batu yang mereka duduki. Mereka tetap menenun kain dengan alat tenun mereka sambil bernyanyi.
Bor dan selang-selang air kemudian beraksi untuk memotong batu. Sembilan mama-mama yang ada di sana tak beranjak. Debu dari mensin bor beterbangan dan mulai menutupi tubuh mereka. Para pekerja seperti meneror tetap membor batu yang akan di tambang. Pada saat kritis tersebut datang Mama Aleta Baun, ia berteriak lantang untuk menghentikan pengoboran batu.
Ia harus berhadapan dengan pihak keamanan dan preman yang dibayar perusahaan tambang. Sempat terjadi tindakaan kekerasan terhadap mama-mama yang berunjuk rasa agar perusahaan tambang batu itu ditutup. Konflik pun meluas, banyak melibatkan warga dengan jumlah yang masif melawan pihak perusahaan.
Itu hanya satu cerita tentang konflik di wilayah adat antara perusahaan dengan masyarakat sekitarnya yang berakar dari soal pengusaan tanah. Menurut Kasmita Widodo dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) semua itu karena hak-hak masyarakat adat diabaikan. “Proses perizinan biasanya tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya, ketika pekerja proyek itu mulai bekerja di lapangan, terjadilah penolakan dari masyarakat adat.”
Masyarakat adat bagaikan tamu di rumah sendiri
Sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan Nomor 35/PUU-X/2012 yang menyatakan hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara yang berada di bawah kendali Kementerian Kehutanan, masyarakat adat menjadi pemangku hak (right-bearing subject). Di satu sisi dalam dinamika di lapangan banyak sekali wilayah yang tumpang tindih penguasaannya oleh berbagai sektor; kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan masyarakat umum atau adat. Semuanya berujung pada konflik penguasaan tanah atau konflik agraria.
“Ini mendesak, harus disediakan sistem data karena setiap lembaga memiliki dan mengelola data [pertanahan] masing-masing [sektoral],” jelas Kaswita Widodo dalam wawancara tertulisnya dengan National Geographic Indonesia.
Untuk membantu menyelesaikan masalah konflik agraria inilah maka Kasmita Widodo mempunyai ide untuk pengembangan sistem Geodata Nasional (GDN). “Untuk menjawab pertanyaan bagaimana data dan informasi spasial (ruang) dan narasi dapat optimal digunakan untuk penyelesaian konflik agraria dan akar masalahnya,” begitu gagasnya.
Maka pada tanggal 30-31 Juli 2013 yang lalu diadakanlah workshop untuk mengembangkan sistem Geodata Nasional. Hasil akhirnya berupa peta wilayah dengan data terpadu dari semua sektor baik perkebunan, kehutanan, masyarakat adat .
Sejak dua tahun yang lalu peta terpadu sudah mulai dibuat dengan melibatkan berbagai lembaga yang tertarik dengan sistem Geodata Nasional. Sistem yang dibuat meliputi data informasi spasial seperti; peta indikatif wilayah adat, situasi tenurial wilayah adat, hutan adat dan hutan negara, konflik dan usaha penyelesaiannya. Beberapa lembaga terlibat dalam pembuatannya seperti HuMA, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) dan Sawit Watch (SW), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Jaringan Tambang (jaringan Tambang) dan beberapa organisasi lainnya.
kerja mereka berbasis digital dan sudah bisa diakses masyarakat umum di www.geodata-cso.org. untuk tahu informasi di tanah miliknya. Jadi masyarakat bisa tahu semua informasi pertanahan lewat sistem data tersebut. Dengan ditempatkan semua data dan informasi dalam satu peta maka akan terlihat profil konflik penguasaan wilayah tersebut.
“Manfaat dari sistem ini, kami bisa menunjukkan situasi penguasaan tanah/wilayah oleh berbagai sektor di wilayah-wilayah masyarakat adat. Ini dapat digunakan sebagai alat advokasi oleh NGO dan peringatan buat pemerintah bahwa ada hak masyarakat adat yang harus dihormati dalam perencanaan pembangunan maupun pemberian ijin,” ungkap Kasmita Widodo.
Peta ini bersifat partisipatif, artinya melibatkan masyarakat dalam pembuatannya. Baik lembaga pemerintah dan non pemerintah. Semua data dimasukan sehingga dengan mudah terlihat penguasaan tanah olah masing-masing lembaga dan masyarakat. Jika ada tumpang tindih lahan akan terlihat jelas, maka potensi wilayah konflik bisa terbaca. Ini sangat membantu upaya penyelasaian.
“Jadi peta partisipatif ini adalah dasar bagi penyusunan rencana pengelolaan sumber daya alam. Karena dalam peta partipatif berisi peta penggunaan lahan, tempat-tempat penting, bersejarah, dan batas-batas pengaturan wilayah adat atau indigenous territory,” demikian penjelasan Kasmita Widodo menutup wawancara.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR