Nationalgeographic.co.id - Ini adalah salah satu bagian strategi berperang dari masa 1.800 tahun yang lalu. Dimana para tentara pasukan Romawi kuno selalu membawa senjata misil mereka yang ‘tidak biasa’ untuk menghadapi musuh-musuhnya. Senjata itu bentuk dan bahannya hampir mirip dengan katapel. Ada batu dan tali (sling) yang ikut berperan, serta cara kerjanya juga sama yaitu melontarkan batu ke sasaran.
Namun ada yang unik dari batu yang digunakan untuk senjata itu. Batu tersebut akan mengeluarkan efek bunyi siulan saat sedang terlontar ke udara. Itulah mengapa senjata ini dikenal dengan sebutan ‘batu selempang bersiul’.
Batu selempang bersiul diyakini oleh para ilmuwan sebagai senjata tertua di bumi. Bahkan, popularitasnya telah mendahului busur dan anak panah, serta tombak yang dilempar. Hal pertama yang sempat membuat bingung para arkeolog adalah mengapa orang Romawi melubangi batu tersebut? Teori awal yang berlaku saat itu bahwa lubang-lubang itu akan diisi dengan racun. Namun seiring dengan penelitian lebih lanjut, akhirnya diketahui bahwa lubang-lubang itulah justru yang berperan dalam pembentukan suara yang dikeluarkan oleh batu saat melayang di udara.
Baca Juga: Prajurit Berpedang Abad Pertengahan Ditemukan di Dasar Danau Lituania
“Lubang-lubang ini mengubah peluru menjadi ‘senjata teror’," kata arkeolog Dr John Reid dari Trimontium Trust, sebuah masyarakat sejarah Skotlandia yang mengarahkan ke penyelidikan arkeologi besar pertama dalam 50 tahun di situs Bukit Burnswark.
Batu selempang bersiul yang ditemukan di situs arkeologi Skotlandia belum lama ini memiliki berat 30 gram, dan berisi lubang bor selebar 5 mm. Peneliti berpikir, lubang ini mungkin juga telah dibuat untuk meningkatkan kerusakan dengan menciptakan efek tekan pada benturan, prinsip kerja ini mirip dengan peluru berujung berlubang modern. Selain itu, lubang yang menciptakan efek siulan selama ia berada di udara, tampaknya akan membuat takut orang-orang yang menghadapinya. Ini semacam ‘teror’ dalam strategi berperang. Sehingga saat musuh ketakutan, mereka pun lengah dan mudah dikalahkan.
Dilansir oleh Livescience.com, arkeolog Dr John Reid berkata, "Anda tidak hanya memiliki peluru diam tapi juga sangat mematikan yang beterbangan; Anda memiliki efek suara yang keluar dari mereka yang akan membuat kepala musuh tetap tertunduk," kata Reid. "Setiap tentara menyukai keunggulan atas lawan-lawannya, jadi ini adalah keunggulan cerdik dalam permutasi peluru sling." lanjutnya.
Baca Juga: Katar: Senjata dari India, Mengoyak Musuh dan Memberi Luka Mengerikan
Tempat ditemukannya batu selempang bersiul itu sendiri, tepatnya di Bukit Burnswark, dekat kota Lockerbie di barat daya Skotlandia adalah merupakan tempat pertempuran antara Romawi dan suku lokal pada abad kedua Masehi. Diduga batu bersiul itu dipakai oleh pasukan Romawi sebagai senjata saat mereka melakukan serangan terhadap penduduk setempat.
Para tentara Romawi seringnya memakai batu dengan jenis yang berbeda dalam peperangan. Mungkin hal itu disesuaikan dengan situasi yang ada. Sling yang dipakai terdiri dari dua tali. Sling ini berguna dalam melontarkan batu ke arah sasaran. Sedangkan kantung gendongan secara signifikan lebih besar daripada batu yang digunakan, ini menandakan bahwa bukan hanya satu batu yang bisa dipakai, melainkan beberapa batu juga dapat dimasukkan sekaligus ke dalamnya dan diluncurkan bersamaan dalam satu tembakan. Ini sangat efektif dalam melumpuhkan musuh.
Penelitian rinci ke batu bersiul yang dilakukan oleh arkeolog Dr. John Reid menemukan bahwa lubang-lubang itu dibuat hanya pada batu yang lebih kecil tetapi tidak pada batu yang lebih besar. Mengapa bisa demikian? Ini menunjukkan hipotesis yang menarik, di mana orang Romawi mengorbankan efektivitas untuk dampak psikologis. Mereka tidak mengutamakan kerusakan yang bisa ditimbulkan oleh batu yang lebih besar, tetapi mereka memilih batu yang lebih kecil. Padahal, peluru yang lebih besar sebenarnya memiliki potensi dapat melakukan perjalanan lebih jauh jika digunakan dengan sling.
Source | : | livescience.com,ancient-origins.net |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR