“Kami ingin mencoba sapu bersih untuk semua jenis kategori.” Begitulah tekad yang terlontar dari kelima finalis Garuda Indonesia World Photo Contest (GAPWC) pada hari kedua (27/8) babak final di tepi Danau Toba. Kelima finalis yang datang dari lima kota berbeda itu berupaya menjadi yang terbaik dalam lima kategori yang tersedia: nature, people, culture, special recognition, dan best of all.
Tentu saja, tekad tersebut harus mereka buktikan dalam kegiatan lapangan, yaitu menangkap objek yang unik dan indah dari beragam destinasi wisata di Sumatra Utara hingga mampu memikat mata dewan juri.
Menurut Budi Sugiharto, finalis asal Surabaya, Jawa Timur, tantangan terberat datang dari finalis asal Myanmar. Para fotografer asal negeri Aung San Suu Kyi itu memiliki alat dan kemampuan yang cukup mempuni. Ada lima fotografer Myanmar yang terpilih untuk mengikuti babak final yang akan berpuncak pada malam penyerahan juara pada Jumat (30/8) di Medan.
Meski demikian, S. Nyoman Oka, fotografer asal Denpasar, Bali, tak berkecil hati. Fotografer Indonesia memiliki bekal pengetahuan dan kedekatan emosi yang tinggi dengan subjek foto. Tuan rumah pun diuntungkan dengan komunikasi yang lancar terhadap objek.
Hal ini terlihat saat para finalis mendapatkan kesempatan berburu foto di kawasan perkebunan teh milik PT Perkebunan Nusantara IV Kebun Tobasari, di Desa Sarimattin, Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Kelima fotografer Indonesia mampu menjalin komunikasi dengan objek foto, para pekerja kebun, dengan baik.
Perkebunan teh Tobasari ini pada awalnya merupakan bagian dari Kebun Sidamanik yang didirikan oleh HVA (Handels Vereniging Amsterdam), Belanda. Pada tahun 1957, Pemerintah Indonesia mengambil alih kebun dan disebut PPN Sumut III. Pada 1961 nama kebun menjadi PPN Aneka Tanaman VI, yang selanjutnya pada 1968 menjadi PPN VIII, hingga akhirnya tahun 1974 berubah menjadi PT. Perkebunan VIII.
Pada tahun 1996, Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan mengenai peleburan PT Perkebunan VI, VII, VIII menjadi PT (Persero) Perkebunan Nusantara IV.
Di Kebun Tobasari, kelima belas finalis yang datang dari berbagai negara (baca juga: Menjadi yang Terbaik dari Keindahan Sumatra Utara) itu menyaksikan teknik panen teh yang berbeda dengan kebun teh sebagaimana biasanya. Di sini, para pekerja memanfaatkan alat mekanis yang digerakkan oleh motor untuk memetik teh.
“Kami menggunakan sudah lama, sejak tahun 1990-an lah. Jadi, hasil yang didapatkan lebih banyak,” kata Pangaribuan, mandor kebun yang telah bekerja sejak 26 tahun silam. Tentu saja, alat pemetik dengan mesin ini menjadi objek foto yang menarik.
Sebelum memulai kegiatan hari kedua, para finalis mendapatkan kesempatan mengabadikan panorama lanskap Danau Toba saat matahari terbit. Sayangnya, cuaca lagi-lagi tak bersabahat. Kendala cuaca menjadi tantangan tersendiri sejak kedatangan para finalis ke wilayah Sumatra Utara.
Saat berada di Parapat, di tepi Danau Toba, mereka tak diberikan kesempatan untuk menangkap langit biru yang melatari keelokan danau vulkano tektonik terbesar di dunia itu. Tentulah, saat beristirahat di Samosir Villas Resort, di Ambarita, Pulau Samosir, yang menghadap ke arah danau, mereka tak lupa berdoa agar hari ketiga dibuka dengan kejutan: Sang Surya memancarkan sinar lembut saat muncul di ufuk timur tanpa terhalang mendung.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR