Menyebut permainan sepak bola indah tidak akan bisa dilepaskan dari Brasil. Para pemain asal Negeri Samba dikenal sebagai dedengkotnya. Mereka begitu piawai menghadirkan sejumlah trik-trik olah bola yang memukau.
Para pemain Brasil yang sanggup melakukannya sangat banyak. Dulu, Garincha mampu memesona publik dengan gocekan kaki kirinya. Masa berikutnya, giliran Ronaldo yang tampil ke depan. Beragam tipuan sering diperagakan untuk memperdaya lawan. Usai Ronaldo, Ronaldinho ganti menyihir publik. Hingga kini, mantan pemain AC Milan ini masih sanggup menampilkan trik yang hampir tidak masuk akal untuk dilakukan.
Ada satu persamaan yang menjadi ciri khas pemain Brasil. Mereka terlihat bersenang-senang ketika memainkan bola. Di atas lapangan, mereka tidak merasa seperti sedang bertugas. Sebaliknya, mereka menikmatinya dengan senyum dan kegembiraan. Tetapi, tidak disangka, di balik tawa para pesepak bola Brasil ketika memeragakan trik memukau, terdapat kisah kelam yang mengawali kelahirannya.
Pada masa lalu, tepatnya sekitar tahun 1800-an, Brasil adalah pusat perbudakan. Dulu, Negeri Samba pernah menjadi importir budak terbesar. Penyebabnya tak lain dari perkembangan koloni bangsa Eropa di sana.
Seperti ihwal kolonialisme lain, migrasi bangsa Eropa ke Brasil dipicu oleh pencarian sumber daya alam. Orang-orang Eropa tergiur oleh aroma kopi Brasil. Selain itu, mereka pun tergoda untuk menambang hasil bumi Negeri Samba. Hasrat tersebut membuat mereka membutuhkan para pekerja murah. Sebagai jawaban, dihadirkanlah para budak asal Afrika ke Brasil.
Sejalan dengan itu, tumbuhlah koloni-koloni bangsa Eropa di sana. Para imigran menetap dengan membawa segenap kebiasannya ke Brasil. Salah satunya adalah kegemaran bermain sepak bola. Para pendatang asal Inggris-lah yang secara tidak langsung mengenalkan sepak bola kepada para budak karena memainkannya di sejumlah perkebunan maupun pertambangan.
Bagai cinta pada pandangan pertama, para budak jatuh cinta kepada sepak bola. Ini mendorong mereka untuk terus menyaksikan atau mencoba untuk memainkan. Tetapi, meski Brasil telah menghapus perbudakan sejak 1888, diskriminasi rasial tetap sulit dibuang. Kaum kulit hitam terus dinilai sebagai warga kelas dua dibanding warga kulit putih.
Diskriminasi rasial
Sepak bola juga tidak bisa menghindar dari praktik diskriminatif. Kaum kulit putih enggan bermain bersama warga kulit hitam. Jikapun mau, mereka bertindak rasialis. Salah satunya dengan memukuli orang kulit hitam yang berani beradu fisik. Eks defender Brasil pada 1930-an, Domingos da Guia membenarkannya.
“Saat kecil, saya takut bermain sepak bola karena saya sering melihat pemain kulit hitam, terutama di Bangu, dipukuli di atas lapangan hanya gara-gara melakukan pelanggaran. Bahkan, kadang-kadang, tidak sampai melanggar,” ujar Guia seperti dikutip dari buku Futebol The Brazilian Way of Life karya Alex Bellos.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Bangu. Di seantero Brasil, hal serupa tercipta. Namun, selalu ada hikmah di balik sebuah kejadian. Ancaman pemukulan memaksa orang kulit hitam melahirkan inovasi permainan sepak bola. Mereka menciptakan beragam trik semata-mata agar bisa melewati lawan tanpa menyentuh tubuh sama sekali.
Kebetulan, warga kulit hitam yang berasal dari Afrika memiliki kebiasaan menari. Ini mempermudah mereka untuk menghadirkan trik karena tubuhnya sudah luwes. Ini pula yang akhirnya dipraktikkan Guia. “Kakak saya selalu berkata, ‘Kucing selalu jatuh di kakinya. Bukankah Kamu pintar menari?’ Dia benar dan itu membantu permainan saya. Saya selalu menggoyangkan pinggang. Kemudian saya melakukan dribble pendek dengan meniru miudinho, sebuah tipe tarian samba,” tutur Guia.
Buahnya bisa kita nikmati hingga saat ini. Olah bola nan memukau dan trik memesona sering diperagakan para pesepak bola asal Brasil seperti Ronaldinho. Bermodal kemampuan itulah, mereka sanggup menyihir dunia lewat aksi-aksinya di atas lapangan hijau.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR