Jumat sore, 13 September 2013. Di Kilometer 0 Yogyakarta, beberapa anak muda bersepeda susul-menyusul berdatangan. Di pelataran Monumen Serangan Oemoem Sebelas Maret, mereka berkumpul.
Beberapa dari mereka sudah siap berkostum seram, minimal dengan bertopeng buatan sendiri. Makin petang, kerumunan ini semakin ramai. Mereka mengejar jam operasional Kantor Pos Besar Yogyakarta, salah satu landmark Kilometer 0. Misi mereka: mengirimkan kartu pos kepada Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti.
Kartu Pos untuk Kota; Mimpi Buruk untuk Haryadi adalah kegiatan pertama pra-Festival Seni Mencari Haryadi. ‘Mimpi buruk’ inilah yang membuat para partisipan datang dengan kostum-kostum seram ketika melakukan happening art ini.
Kartu Pos untuk Kota; Mimpi Buruk untuk Haryadi digerakkan oleh berbagai komunitas di Yogyakarta. Mereka dari Kota untuk Manusia, Card to Post, seniman-seniman Yogyakarta, Arsitek Komunitas Jogja, supporter kesebelasan PSIM, Arsitek Komunitas Jogja (ARKOM), Komunitas Difabel, Ibu-ibu Kali Jawi. Tak terkecuali, para pelalu-lalang yang ikut mengirim kartu pos setelah banyak bertanya tentang kegiatan ini.
Dalam siaran pers disebutkan, Festival Seni Mencari Haryadi “bertujuan mempertanyakan kembali hilangnya peran negara dalam mengatasi persoalan-persoalan uang ada di masyarakat. Seniman dan masyarakat yang sadar atas situasi ini akan menyatukan gagasan dan kemudian mengangkat persoalan ini ke permukaan untuk merangsang Negara mengambil langkah-langkah konkret dalam menyelesaikannya”.
Persoalan-persoalan Kota Yogyakarta yang melatarbelakangi festival ini adalah: penataan ruang publik yang buruk; akses dan fasilitas bagi para difabel yang tak layak; pembinaan olahraga yang terbengkalai; kawasan tepi sungai yang semakin tak terurus; menjamurnya pembangunan hotel yang membebani lingkungan kota; perusakan cagar budaya yang terbiarkan; hingga banyaknya aktivitas seni budaya yang dihilangkan.
Festival ini diniatkan menjadi salah satu corong untuk menyuarakan aspirasi masyarakat Yogyakarta. Gagasan yang digulirkan masyarakat sipil ini menekankan bahwa pertanggungjawaban atas penurunan kualitas pengelolaan kota yang lestari tetap harus dilayangkan kepada pimpinan daerah.
Masih dalam siaran pers: “Walikota dan Wakilnya dinilai tidak cukup tanggap mengelola keadaan dan tak memiliki arah/konsep yang jelas dalam kepemimpinannya. Akibatnya, Kota Yogyakarta dan pembangunannya berjalan secara ‘autopilot’ karena ‘hilangnya kepemimpinan (negara)’ yang menyebabkan munculnya ruang-ruang kosong. Ini menjadi peluang bagi kepentingan dan kekuasaan untuk saling berbenturan dan memperburuk persoalan.”
Festival Seni Mencari Haryadi diniatkan sebagai tekanan kelompok masyarakat kepada pimpinan daerah, dalam hal ini Walikota dan Wakil Walikota Yogyakarta. Masyarakat sipil Yogyakarta berupaya bahu-membahu menggulirkan aspirasi mereka.
Tidak main-main, mereka merencanakan festival seni ini akan berlangsung mulai Oktober 2013 sampai Yogyakarta Kembali Berhati Nyaman. Sebagaimana diketahui, ‘Yogyakarta Berhati Nyaman’ adalah slogan propinsi ini. Namun, setidaknya sebagai tahapan awal, festival ini rencananya akan berlangsung secara simultan hingga Maret 2014.
Sebagai kegiatan pembuka festival, Daliho Kusbirin (Koordinator happening-art Kartu Pos untuk Kota) menyatakan, “Aktivitas ini adalah bentuk kepedulian kita sebagai warga masyarakat Yogyakarta yang didasari oleh kebutuhan akan hidup yang manusiawi.
Lewat media kartu pos dan kesenian kita bersuara sebagai manusia yang berbudaya sekaligus sikap kreatif dan optimistik. Semoga pesan-pesan ini bisa direspon menjadi sesuatu yang produktif. Karena pertumbuhan kota seharusnya merangkul dan berpihak pada manusia yang hidup di dalamnya.”
Agaknya, anggota masyarakat sipil dan para seniman bersiap menyimpan energi dan napas untuk melakukan pressure group ini. Semoga saja ini bukan ‘cinta bertepuk sebelah tangan’. Mari kita ikuti terus saja perkembangannya!
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR