Sekarang, Premier League di Inggris pantas disebut sebagai liga sepak bola paling populer di dunia. Keberadaan klub-klub elite macam Manchester United, Liverpool, Chelsea, hingga Arsenal mampu menarik perhatian pecinta sepak bola ke sana. Belum lagi gaya permainan yang menarik. Di Premier League, tidak ada permainan bertahan. Semua tim saling serang sehingga menciptakan pertandingan menghibur.
Akan tetapi, di balik kemegahan Premier League, nasib mengenaskan dialami orang-orang Inggris. Selain pemainnya yang tersingkir, jajaran pelatih pun tidak mendapat tempat. Di Premier League musim 2013-14, hanya ada empat klub yang ditangani oleh manajer asal Inggris. Mereka adalah Crystal Palace yang dilatih Ian Holloway, Hull City di bawah Steve Bruce, Newcastle United oleh Alan Pardew, serta West Ham United yang dibesut Sam Allardyce.
Kesulitan ahli stategi asal Inggris untuk menembus Premier League tidak lepas dari minimnya jumlah pelaku . Menurut Guardian, jumlah pelatih Inggris yang memegang lisensi UEFA Pro hanya 183 orang. Jumlah itu paling sedikit jika dibanding negara Eropa lain yang memiliki tradisi sepak bola kuat. Ambil contoh Spanyol. Pada saat yang sama. Spanyol mempunyai pelatih pemegang lisensi UEFA Pro sebanyak 2.140 orang.
Jumlah manajer asal Inggris yang minim tidak terjadi begitu saja. Ini tidak lepas dari kurangnya kreativitas berpikir sepak bola. Inggris tidak terbiasa berdiskusi soal sepak bola sehingga tidak muncul para pemikir yang mengembangkan taktik serta serta strategi di sana.
Mendiang manajer kenamaan asal Inggris, Sir Bobby Robson merasakan hal tersebut ketika sempat menangani PSV Eindhoven di Belanda pada 1990 hingga 1992. Waktu itu, dia kaget karena anak didiknya di PSV sering mempertanyakan pilihan taktik serta strategi yang dilakukannya. Di Inggris, dia tidak pernah mengalaminya sama sekali.
Eks pemain Aberdeen asal Belanda, Hans Gillaus, menyatakan ada karakter khas di klub-klub sepak bola Britania Raya. Menurutnya di sana tumbuh budaya ketaatan penuh terhadap manajer. Katanya, “Saya memiliki reputasi berani mengeluarkan pendapat. Di Britania Raya, itu tidak disukai. Di sana para pemain hanyalah angka dan akan melakukan apa pun yang diminta oleh pelatih. Itulah sebabnya manajer di sana dipanggil sebagai bos.”
Pendekatan militerisme
Sikap patuh secara total itu secara tidak sadar menghambat pesepak bola asal Inggris untuk menjadi manajer. Pasalnya, mereka tidak terbiasa memikirkan taktik atau strategi. Tidak ada kesempatan bagi mereka untuk melakukannya karena semua dilakukan oleh manajer.
Orang Inggris sulit sekali untuk mendobrak sistem tersebut. Bukannya mereka bodoh, melainkan karena kebiasaan untuk menaati otoritas sudah begitu mengakar di masyarakatnya. Lihat saja, dibandingkan negara-negara lain di Eropa, Inggris lebih teratur karena terbiasa mengikuti aturan.
Masyarakat Inggris malah termasuk sangat patuh terhadap aturan. Sedemikian taatnya mereka sehingga manajer Arsenal yang berasal dari Prancis, Arsene Wenger, menyebut orang-orang Inggris memiliki mentalitas ala serdadu.
“Lihatlah, itu ada di dalam darah orang Inggris. Dalam segala hal, mereka menyikapinya dengan cara militeristik. Mereka akan melakukan hal yang diminta, mereka mengikuti perintah. Mereka tidak pernah melawan otoritas,” ujar Wenger.
Oleh karena itu, jangan heran jika Inggris bisa selalu menang dalam medan perang. Pasalnya, semua seiya sekata dalam satu langkah yang diperintahkan. Namun, sayangnya, mentalitas tersebut berdampak buruk di sepak bola, khususnya dalam perkembangan manajer.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR