Matahari baru saja menampakkan wajahnya yang bundar sempurna berwarna jingga pekat pagi itu. Seolah memberikan semangat pada saya yang hari itu akan melakukan sebuah perjalanan panjang menapaki sisa-sisa sejarah di kota tetangga, Tangerang.
Waktu baru menunjukkan pukul 05.50, tapi saya sudah sampai di Stasiun Cakung untuk melakukan perjalanan menuju ke Tangerang menggunakan Commuter Line. Hari itu, Minggu (29/9/2013), saya dan komunitas Love Our Heritage (LOH) akan melakukan Jelajah Kota Tangerang selama sehari. Tak sabar rasanya bertemu mereka di Stasiun Tangerang nanti, tempat kami merencanakan pertemuan hari itu.
Sekitar pukul 06.00 kereta sudah datang. Artinya, saat itu pula perjalanan saya dimulai. Untuk sampai di Kota Tangerang saya harus melewati 17 stasiun dengan dua kali transit di Stasiun Manggarai dan Stasiun Duri. Senangnya melakukan perjalanan dengan Commuter Line di hari Minggu, tidak banyak penumpang yang berjejalan di gerbong kereta. Bahkan gerbong kereta terasa amat lengang dan banyak tempat duduk yang masih kosong. Andai saja, kondisi ini bisa didapatkan setiap hari, pasti banyak masyarakat yang mau menggunakan moda transportasi umum ini.
Menempuh perjalanan selama dua jam lamanya, akhirnya saya menginjakkan kaki di kota Tangerang. Saat turun dari kereta saya langsung mencari teman-teman Komunitas LOH, tidak sabar rasanya menyusuri kekayaan sejarah kota Tangerang. Memang benar kata pepatah, kalau jodoh tak akan lari ke mana. Ternyata saya satu perjalanan dengan teman-teman LOH sejak dari Stasiun Duri, tapi sayangnya kami berada di gerbong yang berbeda.
Kemudian, kami pun berkumpul di peron untuk menunggu teman-teman lain yang masih dalam perjalanan menuju Tangerang. Sementara menunggu, kami dibagikan sinopsis perjalanan sebagai penduan wisata yang akan kami jalankan selama sehari.
Saatnya Memulai Perjalanan
Hari itu, kami akan menjelajahi kawasan Pasar Lama, Tangerang, dengan rute perjalanan Nasi Uduk Encim Sukaria, Sungai Cisadane, Kelenteng Boen Tek Bio, Masjid Jami Kalipasir, dan Museum Benteng Heritage. Untuk menjelajahi tempat-tempat tersebut, kami lakukan dengan berjalan kaki.
Perut telah terisi, begitu juga dengan tenaga. Saatnya melanjutkan Jelajah Kota Tangerang. Tempat selanjutnya kami akan menuju Sungai Cisadane. Untuk bisa sampai ke Sungai Cisadane kami jalan kaki selama 10 menit.
Dalam perjalanan, Ferry, pemandu wisata dari Komunitas LOH, menjelaskan tentang sejarah Tangerang yang disebut sebagai Kota Benteng. Pada zaman penjajahan Belanda, dibangun benteng pertahanan di dekat Sungai Cisadane yang digunakan sebagai benteng pertahanan dari serangan Kesultanan Banten.
Itulah sebabnya mengapa warga yang tinggal di kawasan tersebut diberi julukan Cina Benteng. Selain berada di kawasan bekas benteng, kebanyakan warga di kawasan tersebut merupakan keturunan etnis Tionghoa yang menempati wilayah itu sejak lama.
Menyusuri Sudut Pasar Lama
Salah satu pusat sejarah Kota Tangerang yang masih menampakkan sisa-sisa masa lampau adalah kawasan Pasar Lama. Letaknya tidak jauh dari Sungai Cisadane. Pasar Lama Tangerang merupakan pasar tradisional tertua yang pernah ada dan merupakan cikal bakal Kota Tangerang.
Memasuki kawasan Pasar Lama, nuansa keberadaan etnis Tionghoa sangat terasa. Mulai dari bangunan rumah penduduk yang masih mempertahankan bentuk aslinya, sampai pada makanan yang dijual di sepanjang jalan. Sebagai tempat bernaung etnis Tionghoa, di kawasan ini terdapat Kelenteng Boen Tek Bio juga Museum Benteng Heritage yang merupakan sumber sejarah etnis Tionghoa di Tangerang.
Kelenteng Boen Tek Bio
Kelenteng Boen Tek Bio di Pasar Lama dikenal sebagai kelenteng tertua di Tangerang yang diperkirakan sudah berumur 300 tahun. Kelenteng yang hanya mengalami renovasi sekali pada tahun 1844 ini, merupakan salah satu dari ketiga kelenteng besar yang berpengaruh serta berusia tua di Tangerang. Dua kelenteng tua lainnya adalah Boen San Bio dan Boen Hay Bio yang berusia hampir sama.
Di area belakang kelenteng Boen Tek Bio juga terdapat sebuah vihara yang bernama Vihara Padumuttara. Tempat peribadatan umat Buddha itu besar dan bersih. Anda bisa merasakan kesejukan ketika berada di dalam vihara.
Masjid Jami Kali Pasir
Tidak jauh dari Kelenteng Boen Tek Bio, terdapat tempat ibadah umat Islam yang juga merupakan bangunan tua, Masjid Jami Kali Pasir. Masjid dengan nuansa hijau putih tersebut sudah mengalami banyak perubahan dari kondisi awalnya. Hanya dua sisi bangunan yang masih utuh dipertahankan, yakni empat tiang di dalam masjid, dan kubah kecil bermotif China di atas masjid.
Museum Benteng Heritage
Masih di kawasan Pasar Lama, kami kembali melanjutkan perjalanan. Tujuan kami berikutnya adalah Museum Benteng Heritage. Museum pribadi milik Udaya Halim ini merupakan hasil restorasi dari sebuah bangunan tua berarsitektur tradisional Tionghoa yang diduga dibangun pada sekitar abad ke-17. Bangunan ini juga merupakan bangunan tertua di Tangerang dengan unsur Tionghoa yang amat kental.
Bangunan yang berada di tengah Pasar Lama ini, memiliki dua tingkat. Lantai satu museum dijadikan sebagai restoran, tempat gathering, penjualan suvenir, dan sebagainya. Sedangkan di lantai dualah baru kita bisa menemukan berbagai barang antik koleksi museum. Museum ini menyimpan berbagai barang yang berkaitan dengan sejarah etnis Tionghoa di Indonesia serta berbagai artefak yang menjadi saksi bisu masa lalu.
Museum Benteng Heritage pun menjadi saksi perjalanan panjang kami membuka masa lalu kota Tangerang dalam Jelajah Kota Tangerang bersama Komunitas LOH. Tidak lupa momen bersejarah di tempat bersejarah juga harus diabadikan. Setelah berfoto di museum kami pun kembali pulang ke tempat masing-masing. Benar-benar perjalanan yang mengesankan...
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR