Sejak awal saya menyiapkan anggaran ekstra untuk melancong di Jepang yang terkenal dengan ekonomi biaya tinggi, meskipun nilai tukar rupiah “hanya” Rp110 – 140 untuk satu yen. Penginapan kami (Floral Inn Namba) yang tergolong hotel bintang dua bertarif per malam sekitar Rp1 juta.
Biaya itu terlalu menguras kocek saat mengetahui yang saya dapatkan berupa kamar sempit dan fasilitas standar minimal. Namun, saya masih dapat mereguk air minum langsung dari keran.
Untuk mengisi perut, saya bisa saja selalu membeli onigiri, “nasi kucing” berupa sekepal nasi yang dibentuk segitiga pipih dengan sedikit lauk – olahan kacang merah, tuna, daging. Harganya, 100 – 150 yen untuk setiap kali makan (sarapan, makan siang, dan malam). Ini memang sangat hemat. Namun, saya tak mau “puasa” untuk bertahan hidup selama melancong di kota yang berslogan, bangkrut karena terlalu banyak makan di Osaka.
Saya tergoda sarapan prasmanan di hotel. Harganya 1.050 yen bila kita sarapan dadakan, tapi mendapat korting (menjadi 840 yen) kalau telah pesan sehari sebelumnya. Ini terasa sangat murah karena saya bisa sepuasnya menyantap sarapan ala Barat, dengan pilihan roti, selai, telur rebus, susu, kopi, teh atau jus. Apalagi masih ditambah hidangan Jepang istimewa yang tersaji menarik dengan ilustrasi, foto dan info daerah asalnya di Jepang dan jumlah kalori per porsi!.
Ada aneka gorengan berbalut tepung, olahan bunga teratai dan sayuran mirip rebung atau bambu. Saya memilih berbagai olahan ikan. Sebagai bukan penyuka hidangan laut, saya ternyata menikmati berbagai olahan ikan itu..
Untuk menu makan siang saya punya pilihan pada hidangan cepat saji. Di Osaka, paket sepotong ayam, kentang goreng, teh atau minuman ringan berkisar 800 yen. Saya juga menyempatkan diri jajan es krim contong rasa cokelat di salah satu gang di Dotonbori.
Yang mengesankan, penjajanya, Ahmet “Andy” Ortac dari Turki terlebih dulu menyiapkan dengan gaya akrobatik. Es krim liat kental itu ditarik dari tong sampai ke contong, hampir seperti “barista” yang menyiapkan teh tarik, lalu Andy seakan-akan ingin segera menyodorkan ke saya tapi urung, lalu dia membuat gerakan yang mengingatkan saya pada tari piring.
Akhirnya si es krim contong 150 yen itu benar-benar diserahkan pada saya untuk dinikmati. Saat menjelajahi gang lainnya, saya kembali mencicip es krim contong rasa teh hijau yang dijajakan warga setengah baya Jepang.
Bagi saya, penjelajahan yang sempat membuat tersesat di Dotonbori amat mengasyikkan. Di sinilah, kita dapat menjumpai suasana dan tingkah kaum muda yang mengingatkan saya pada Harajuku. Oya, dalam berbagai ulasan bahkan situs resmi pemerintah setempat, Dotombori kadang ditulis Dotonbori, seperti halnya induknya, kecamatan (distrik) Nanba yang diucapkan Namba.
Kalau sudah tiba di Osaka, tentulah merugi apabila tidak mengunjungi Universal Studios Japan yang pertama kali beroperasi pada 2001. Untuk dapat menikmati beragam wahana hiburan di sini, seorang dewasa harus mengeluarkan kocek 6.400 yen. Untuk anak-anak dikenakan separuhnya.
Dengan biaya itu, saya menjajal beragam wahana The Ride - Hollywood Dream, Space Fantasy di wilayah Hollywood, The Amazing Adventures of Spider-Man di New York, Back to the Future di San Francisco dan Jurrasic Park. Di kursi atau kendaraan simulator itu dan mengenakan kacamata tiga atau empat dimensi, saya puas dapat memekik, sembari berusaha menikmati sensasi jungkir balik yang membawa saya ke alam petualangan itu. Favorit saya adalah naik kapal di Amity Village dalam wahana Jaws.
Saya kembali memekik ketika great white shark muncul dari kedalaman dan hendak menyerang kapal. Dalam kenyataannya, hiu putih raksasa yang tak seganas seperti yang digambarkan di film itu kini kian dikhawatirkan kelestariannya. Sesungguhnya, makanan utamanya bukanlah manusia. Dia kadang hanya salah mangsa, siluet peselancar dengan papan dan kaki tangan yang mengayuh itu mirip sekali dengan mangsa aslinya: anjing dan singa laut.
Bersambung...
*Artikel ini telah ditayangkan dalam National Geographic Traveler edisi Februari 2013
Peneliti BRIN dan Inggris Berkolaborasi Mengatasi Permasalahan Sampah Plastik di Indonesia
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR