Nada-nadanya dimulai dengan sangat lembut. Instrumen simbal - Ching dalam etimologi Khmer - dipukul. Tandanya, aransemen musik akan dimulai. Beberapa pengunjung yang tengah tergesa-gesa sontak memperlambat langkahnya.
Mata mereka terpaku ke dalam sekelompok orang yang sedang mengalunkan melodi penuh gizi. Tak sedikit di antara mereka yang melontarkan pujian, sementara itu yang lain merogoh kantongnya untuk beberapa peser Riel atau Dollar.
Sudah sejak memasuki area Rajavihara – biasa dikenal sebagai Ta Phrom – telinga saya terpancing. Bebunyian merdu yang unik itu membuat saya lekas mendekati sumber suara. Ketika semakin dekat, orkestrasi silofon yang terbuat dari bambu sudah menguak indah.
Instrumen kaya nada itu biasa juga disebut roneat. Bentuknya mirip dengan angklung. Namun, alat musik ini memiliki oktaf yang lebih banyak dan jangkauan nada yang lebih tinggi. Para pemain membunyikan instrumen dengan bergantian. Mereka menghasilkan sebuah lagu yang menghanyutkan.
Saya semakin memacu langkah, untuk mengganjar rasa penasaran akan musik yang menarik hati itu. Bukan main saya terkejut mendapati kelompok musik yang ada di hadapan saya. Seorang pria paruh baya tanpa kaki dengan lincah memainkan Tro u, alat musik gesek yang terbuat dari batok kelapa dan dua buah senar.
Setelah saya perhatikan lagi, ternyata hampir semua dari personil dari band kehilangan salah satu dari bagian tubuhnya. Berbalutkan simpati dan rasa penasaran, saya memutuskan untuk menonton pertunjukkan musik itu lebih lama.
Saya pun berhasrat mencari tahu kisah di balik grup musik yang unik ini. Rupanya. kisah ini berawal dari ratusan, bahkan ribuan bom yang menghujani kawasan Vietnam, Laos dan Kamboja. Kala itu, sebagian wilayah Semenanjung Indochina tengah bergolak - perang saudara merenggut ratusan ribu nyawa. Begitu perang usai, masalah kembali muncul.
Ranjau yang tertanam di penjuru wilayah membawa dampak fatal bagi masyarakat setempat. “Saat itu kami tak memiliki harapan hidup. Menghadapi kenyataan bahwa kami miskin dan kehilangan anggota tubuh, sangat-sangat membuat kami depresi,” kata Khem, salah seorang anggota band.
Ia bertugas memainkan Chapey, alat musik berupa banjo yang mengeluarkan suara bas. Khem sendiri, kehilangan dua buah kakinya pada saat remaja. Mereka memutuskan untuk membentuk grup musik, dan mulai memainkan tembang-tembang tradisional folk Kamboja. Orkestrasi musik tradisional ini biasa dinamakan Pinpeat, merujuk kepada seperangkat ensemble alat musik.
Seraya saya berjalan menjauhi mereka, nada-nada itu terus mengalun. Rekam jejak pedihnya sejarah para korban ranjau memancing saya untuk terus menggali simpati. Sejarah tidak hanya tertulis di lembaran buku. Saya baru saja menikmati alunan nada dari bukti sejarah yang berbicara.
*Artikel ini pernah diterbitkan dalam National Geographic Traveler Indonesia edisi Januari 2013.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR