Para pemerhati sepak bola pasti tidak melupakan momen-momen spesial yang terjadi di final Liga Champions. Beberapa di antaranya adalah comeback sensasional yang pernah terjadi pada laga pamungkas musim 1998-99 dan 2004-05.
Pada 1998-99, Manchester United meraih juara dengan mengalahkan Bayern Muenchen. Padahal, mendekati detik-detik akhir pertandingan, Red Devils masih tertinggal 0-1. Namun, berkat dua gol yang diciptakan pada injury time, Man. United membalikkan keadaan.
Musim 2004-05, giliran Liverpool yang menciptakan sensasi. Tertinggal 0-3 dari AC Milan pada babak pertama, The Reds mampu mengejar dan memaksakan pertandingan diakhiri dengan adu penalti. Saat itulah keberuntungan menaungi. Liverpool memenangi adu penalti sehingga berhak meraih trofi juara.
Kalau jeli mengamati, Anda akan menemukan bahwa comeback sensasional di final Liga Champions hampir selalu dilakukan oleh klub-klub asal Inggris. Itu bukan sebuah kebetulan. Tim dari Inggris mampu melakukannya karena dikenal memiliki semangat pantang menyerah. Mereka selalu berprinsip pertandingan belum berakhir sebelum wasit meniupkan peluit tanda laga usai.
Pola pikir rasional
Semangat tinggi tersebut jika ditelurusi lebih mendalam berawal dari irasionalitas masyarakat Inggris. Dibanding negara lain di Eropa seperti Italia dan Prancis, Inggris termasuk tertinggal dalam pemikiran tentang rasionalitas.
Ketertinggalan Inggris tak lepas dari beragam faktor. Salah satunya keberadaan tokoh pemikir rasional. Prancis memiliki pemikir seperti Rene Descartes yang memengaruhi pola pikir masyarakatnya. Italia bahkan punya Niccolo Machiavelli yang terkenal sangat memperhitungkan apa pun. Namun, Inggris hampir tidak mempunyainya.
Irasionalitas masyarakat Inggris juga tergambar dari sejumlah literatur sastra populer dalam budaya Anglo Saxon. Sebut saja dua kisah mengenai Beuwulf dan King Lacer. Dua cerita itu diakhiri dengan kematian tragis. Namun masyarakat Inggris sangat menyukainya.
Dalam sepak bola, irasionalitas orang Inggris tergambar dalam semangat tanding yang tinggi. Tim-tim asal Inggris tidak senang berhitung. Mereka cenderung melakukannya saja. Mereka tidak takut kalah dan akan menerimanya secara sportif jika memang telah berusaha maksimal.
Manajer Arsenal yang berasal dari Prancis, Arsene Wenger, menyadarinya begitu hadir di Inggris. Dia berkata, “Di Inggris, mungkin karena berada di kepulauan, mereka lebih seperti pejuang yang bersemangat. Mereka memandang pertandingan bagaikan duel pada masa lalu, sebuah pertarungan hingga mati. Ketika orang Inggris berperang, dia akan pulang dengan kemenangan atau menjadi mayat.”
Sikap seperti itu sangat penting artinya dalam olahraga seperti sepak bola. Itu akan membuat mereka tak kenal kata menyerah. Buahnya pun bisa dilihat seperti pada final Liga Champions 1998-99 dan 2004-05. Comeback sensasional tercipta berkat spirit juang nan tinggi.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR