Mangrove tidak hanya memiliki fungsi ekologi, tetapi juga ekonomi. Ketika di berbagai daerah perhatian masyarakat terhadap kondisi kawasan mangrove meningkat, di Bengkulu justru jalan di tempat. Padahal, kawasan mangrove di Bengkulu sangat mudah diakses dan berpotensi dikembangkan menjadi daerah wisata.
Ibarat pepatah, semut di seberang lautan terlihat jelas, sementara gajah di pelupuk mata tidak tampak. Itulah kondisi kawasan mangrove di Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang dan Pulau Baai di Kota Bengkulu.
Walaupun berada dekat dengan pusat kota dan mudah diakses, tidak membuat pemangku kepentingan menaruh perhatian serius pada mangrove. Bahkan, mungkin belum banyak juga pengambil kebijakan di daerah yang mengetahui bahwa ada mangrove di Kota Bengkulu.
Padahal, ancaman terhadap kelestarian mangrove di TWA Pantai Panjang selalu ada. Posisinya yang berada di kota dan mudah dijangkau, sering kali justru menambah rentan habitat mangrove. Dan jika dibiarkan, kawasan mangrove yang sudah banyak beralih fungsi jadi kolam dan kebun sawit itu niscaya akan habis.
Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bengkulu Mugiharto mengatakan, dari tahun ke tahun luas areal mangrove di TWA Pantai Panjang dan Pulau Baai terus turun. Daerah yang dahulu ditumbuhi mangrove kini telah berubah fungsi menjadi kolam atau kebun kelapa sawit. Nelayan juga sering menebang batang mangrove untuk membuat pondok di sektiar pantai atau perahu.
"Sebelum tahun 2000-an ada permintaan kayu mangrove yang banyak untuk arang. Ini juga yang menyebabkan penebangan mangrove marak saat itu," kata Mugiharto.
Di tahun 2002, areal mangrove di TWA Pantai Panjang yang masuk dalam wilayah Kelurahan Sumber Jaya, Teluk Sepang, dan Kelurahan Kandang, Kecamatan Kampung Melayu, seluas 1.000 hektare. Di tahun 2007, luas itu berkurang menjadi 535 hektare.
Di antara berbagai jenis mangrove yang ada di TWA itu, Avicennia marina dan Sonneratia alba menjadi jenis mangrove yang paling rusak. Penyebabnya ialah posisi kedua jenis mangrove ini paling dekat dengan permukiman penduduk sehingga mudah dijangkau.
Bermula dari kepedulian terhadap kawasan mangrove yang kian menyusut itulah, sejumlah anak muda membentuk Komunitas Mangrove Bengkulu. Mereka berkomitmen untuk menanami mangrove di daerah pasang surut TWA Pantai Panjang. Difasilitasi oleh BKSDA Resor Kota Bengkulu, komunitas yang beranggotakan sekitar 20 orang itu berencana menanami lahan pasang surut seluas lebih kurang 5,8 hektare di TWA Pantai Panjang dan 3 hektare di Kelurahan Pondok Besi, Kecamatan Teluk Segara, Kota Bengkulu.
Koordinator Komunitas Mangrove Bengkulu, Ricky Rahmasyah, menuturkan, di tahap awal calon anggota komunitas yang mayoritas mahasiswa harus mengikuti pendidikan dan latihan. Mereka diajari pengenalan habitat, jenis, dan manfaat mangrove. Selebihnya mereka lebih banyak aksi langsung di lapangan sambil berdiskusi.
Mereka kemudian membagi diri dalam kelompok yang masing-masing beranggotakan 5-6 orang. Ini untuk memudahkan teknis menanam di lahan yang sudah diplot dalam beberapa blok. Sejauh ini, Komunitas Mangrove Bengkulu sudah menanam lebih dari 1.000 batang mangrove di lahan pasang surut seluas 5 hektare, yaitu 2 hektare di TWA Pantai Panjang dan 3 hektare di Pondok Besi.
Karena kebanyakan anggota komunitas adalah mahasiswa, maka waktu menanam mangrove biasanya dilakukan setiap akhir pekan. Setelah mencari bibit ke dalam hutan mangrove, mereka langsung menanamnya di blok yang telah ditentukan.
Sebenarnya di kawasan TWA Pantai Panjang ada beberapa jenis mangrove, seperti misalnya Rhizopora apiculata, Bruguiera sexangula, Lumnitzera littorea, dan Avicennia alba. Namun, yang banyak ditanam adalah Rhizopora apiculata karena jenis inilah yang bibitnya banyak tersedia di lokasi.
Penulis | : | |
Editor | : | Oik Yusuf |
KOMENTAR